Aku Ingin Pulang Sekarang

oleh: Arif Utama

“Kapan kau akan pulang?”

Dulu, Basir pernah bertanya pada Rusdi sesuatu yang sulit ia jawab tanpa berbohong. Dalam mengantarnya ke bandara, pertanyaan itu terasa sangat menghujam jantung cucunya. Ia tak memilih memohon agar Rusdi berhati-hati di ibukota – kota dimana ia mengais rezeki. Tidak, ia sangat tak tertarik untuk mewanti-wanti bahwa kota tempatnya mencari rezeki berisi orang-orang yang jahat, atau kota cukup kejam menyiksanya dengan impian yang sangat aneh. Seperti menjadikan hidup bahagia sebagai tujuan.

Sedang tak biasanya, hal ini sedang tak mengganggunya. Kini ia yakin Rusdi akan tetap menjadi dirinya. Itulah yang tampak selama ia merantau. Rusdi tak berubah. Rusdi tetap baik budinya. Basir bangga karena telah berhasil membekalinya dengan ilmu dan akal budi yang baik. Atau bahkan ada yang lebih ia risaukan.

Basir lalu teringat tentang Rusdi semasa kecil. Rusdi yang, meski Jakarta sedang tak aman pada tahun 1998, namun tetap riang layaknya seorang balita saat mereka berdua bermain di jalanan Senayan yang tampak sepi itu. Rusdi yang, akan selalu berlari memeluknya saat Basir datang menjemputnya hingga mencapai usia remaja. Rusdi yang selalu senang mendengar ceritanya. Mulai perang dunia hingga persoalan wanita. Rusdi yang, pernah memaksanya bermain hujan dan lalu mereka berdua sama-sama demam keesokan harinya. Rusdi yang akan selalu membuatnya bahagia, terutama setelah berat hati kehilangan Mirna, anak sulungnya, karena melahirkan Rusdi. Atau sahabat-sahabatnya yang pelan-pelan menyusut jumlahnya karena surga lebih membutuhkan sahabatnya dibandingkan dia. Pula dengan Amir, menantunya, yang bunuh diri setelah kehilangan Mirna.

Rusdi adalah harapan dan alasannya tetap hidup. Tentu saja, bagi seorang yang tua namun diberi ingatan yang sangat kuat, perpisahan ini adalah hal yang paling ia benci. Meski hanya untuk sementara.

Basir suka memutar memorinya sendiri seperti pemutar kaset yang memutar lagu kesukaannya. Ia percaya bahwa manusia di dunia ini banyak yang menganggap memori akan menjadi suatu balada bagi manusia. Namun baginya, memori adalah taman yang mengasyikkan. Ia selalu menggunakannya untuk menceritakan kepaa Rusdi berbagai hal yang ia suka. Kecuali hari ini, tentu saja, karena mereka harus merelakan bahwa mereka berdua kian hari kian menua. Mungkin, karena hari ini Basir yang tenang dan menyenangkan itu benar-benar takut usianya memang tak lama lagi.

Rusdi sangat tak ingin menimbulkan suasana haru berlebih di bandara. Ia tak ingin dipusingkan dulu dengan persoalan pribadi, meski tentu saja, ia ingin mengambil cuti lebih lama lagi dibandingkan hanya tujuh hari di bulan Februari. “Cukuplah perasaan haru itu bagi mereka yang melepas rindu di bandara hari ini,” pikirnya. Sebuah kebohongan meluncur dari mulutnya, dan terdengar bagaikan suara surgawi bagi tua renta yang hanya hidup berdua dengan istrinya di masa tuanya.

“Aku akan pulang tak lama, Juni, saat puasa, aku akan pulang dan kita akan bercerita sebagaimana biasanya.”

Rusdi di antara rasa tega dan tak tega mengatakannya. Pula yang membuat situasi ini makin menyebalkan adalah Basir mengetahui cucunya sedang berusaha mengelabuinya.

“Kumohon, jangan berbohong. Februari dan Juni masih berjalak empat bulan. Dulu dan sekarang dan selamanya akan begitu.”

Rusdi terpaksa berbohong lagi. Selayaknya laki-laki baik yang tak ingin melukai namun ujung-ujungnya menipu.

“Tak ada yang kusampaikan ini bohong. Waktu kini tak lagi berjalan. Ia sudah tahu caranya berlari.”

Basir jelas tak puas dengan jawaban ini. Namun, bisa apa manusia tua renta yang sudah terpinggirkan zaman seperti dirinya? Jelas hal yang dikatakan Rusdi ini tak berarti baginya. Terutama bagi dirinya yang masih ingat betul teori relativitas yang pernah ia ceritakan kepada Rusdi dulu yang membuat tawa lepas di seluruh ruangan. Satu jam dengan perempuan yang dicintai akan sangat berbeda dengan satu jam membakar tangan sendiri di atas bara api. Sayangnya, perasaannya setiap melepaskan Rusdi pergi adalah seperti bara api yang membakar tangannya sendiri. Kini, selama kurang lebih empat bulan lamanya. Itu jika Rusdi benar-benar memegang janjinya untuk pulang di bulan Juni.

Sementara bagi Rusdi, jelas hal ini sangat mengganggunya. Ia sudah terlampau sedih bahkan saat memandangi kaca jendela pesawat. Mengabaikan instruksi paduan keselamatan yang diberikan oleh pramugari – yang mungkin berguna untuk menyelamatkan perasaan biru di hatinya. Kaca kemudian memantulkan fragmen masa kecilnya seolah terjadi di depan mata. Tawa dan suaranya terekam dengan jelas di kepalanya.

Kini, Juni dan ramadhan, dan seharusnya Rusdi telah pulang. Namun ibukota menahannya. Ia bertanya kepada kakeknya, “Kakek sahur apa?”. Pula, di saluran telepon yang sama terdengar pengakuan jujur cucunya, “aku berbohong, empat bulan terasa lama, dan aku ingin pulang sekarang juga.”

[]

 

 

 

foto: @imanbrotoseno

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Gambar Twitter

You are commenting using your Twitter account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s