Written by

KERAP terjadi dan mustahil dihindari. Ketika badan sudah terbaring di atas kasur, kulit mulai terbiasa dan merasa nyaman dengan tekstur kain seprai, selimut, dan guling yang mungkin tengah dipeluk, engahan napas perlahan melamban, semua menjadi terasa rileks sekali. Lalu, dalam lima detik kemudian, isi pikiran memutar ulang ingatan dari beberapa bulan lewat.

*bersikap ramah* “Nih, Mbak, silakan duduk, saya berdiri saja.

Oh, makasih, enggak usah, saya enggak apa-apa, kok.

*kekeuh* “Eh, jangan, Mbak. Enggak apa-apa, kok. Mbaknya lagi hamil, kan?

*kaget* “Saya enggak hamil.

*kaget juga, tapi diam saja, terus pura-pura ke toilet*

Suasana ruang personal yang tadinya tenang dan ideal untuk beristirahat akhirnya berubah. Muncul kembali perasaan teramat malu karena kejadian tersebut, berulang kali membatin: “Kenapa bisa-bisanya ngomong begitu, sih?


Di antara berbagai pemicu perasaan tidak menyenangkan dalam hidup, ini merupakan salah satu yang paling mengganggu buat saya. Kilas ingatan tindakan memalukan yang pernah saya lakukan di masa lalu tidak hanya menimbulkan perasaan tidak enak, tetapi juga seringkali sukar dienyahkan. Seperti menggantung di area yang tak bisa dijangkau.

Reliving these memories, teringat dengan perbuatan atau ucapan memalukan di masa lalu bahkan kerap terasa lebih parah dibanding saat kejadian.

Teori saya, mungkin pada saat kejadian, peristiwa berlangsung seketika atau sambil lalu. Kita mungkin sedang mengerjakan sesuatu atau tengah fokus pada hal lain dan tidak benar-benar sadar betapa memalukannya tindakan kita. Kesadaran tersebut yang membuat ingatan terasa lebih menyakitkan harga diri.

Saya yakin setiap orang pasti memiliki mekanisme berbeda saat menghadapi ingatan kemaluan dari masa lalu seperti ini. Ada yang bisa dengan mudah mengabaikannya dan beralih ke aktivitas lain, tetapi ada juga yang justru merasa terganggu lebih parah, menjadi kepikiran hingga menghilangkan fokus terhadap aktivitas yang sedang dikerjakan.

Setiap kali situasi ini terjadi, (1) saya merasa terganggu, (2) agak menghardik diri sendiri “KOK GOBLOK BANGET, SIH?!!!“, (3) berupaya mencari pelajaran dari pengalaman tersebut supaya tidak terulangi lagi, (4) kemudian belajar menerima keadaan, (5) menyadari bahwa yang lalu tak mungkin terulang, maaf sudah dimintakan, dan akibat dari perbuatan tersebut sudah tidak mungkin dibatalkan.

Idealnya, respons batin saya berjalan linier dari (1) sampai (5). Namun, seringnya malah mentok di fase (2) dengan ketambahan perasaan menyalahkan diri sendiri.

Ini sangat mengganggu, buat saya. Tapi, kayaknya, belum sampai tahap perlu konseling atau terapi. Jadi yang bisa saya lakukan adalah mencari informasi mengapa ini terjadi? Mengapa perasaan tidak menyenangkan dari ingatan tersebut seolah-olah menjadi berlipat efeknya? Fungsi apa yang tengah dilakukan oleh pikiran dengan memicu hal tersebut? Kenapa munculnya di momen-momen hening sendiri?


Tindakan yang kita anggap memalukan akan disertai dengan lekatan emosional. Kita memberikan tanda dan beban mental khusus atas tindakan tersebut. Ingatan yang terikat dengan tindakan ini pun seakan-akan memperoleh tempat khusus. Muncul dengan kesan yang berbeda dengan ingatan-ingatan lainnya.

Pikiran, katanya, mengasosiasikan ingatan tersebut dengan insting mempertahankan diri atau survival. Meskipun, ya, itu tadi, perbuatan memalukan tersebut lebih mungkin menjatuhkan harga diri daripada membuat mati.

Ingatan memalukan ini akan terasa lebih “menyakitkan” bagi orang-orang yang perfeksionis, lantaran manusia pada dasarnya memiliki kecenderungan bias terhadap emosi negatif. Mereka yang fokus pada kesempurnaan (menurut versi mereka sendiri) akan jauh lebih mudah terserap pada kekurangan-kekurangan yang terjadi ketimbang pencapaian sejauh ini.

Dan, tidak mudah untuk berubah.


Seperti yang sebelumnya, tulisan di Linimasa ini tidak bertujuan untuk menjadi rujukan self-help atau penyedia solusi jitu menghilangkan perasaan tidak menyenangkan dari ingatan memalukan.

Saran-saran yang bertebaran untuk menghadapi situasi seperti ini adalah dengan berusaha tenang, berusaha berpikiran positif dengan berpegang pada hikmah maupun pelajaran dari pengalaman tersebut, dan sebagainya.

Mudah diucapkan, mudah dimengerti, tetapi sukar dipraktikkan.

Sebagai pribadi yang kebetulan mengenal dan masih berlatih meditasi, saya berusaha untuk menyadari momen-momen batin yang muncul mengiringi ingatan memalukan tersebut. Menyadari dengan melihat sebagaimana adanya: Sisa ingatan dari masa lalu. Berusaha tidak diberi label dan penghakiman pada diri sendiri.

Tapi, ya, begitu, susah. Ujung-ujungnya malah bergumam aneh sambil berharap mudah-mudahan enggak akan bisa kelepasan seperti ini lagi di masa depan.

Hidup dalam penuh waspada dan kehati-hatian.

Btw, kalau kamu punya cara tersendiri untuk menghadapi situasi ini, boleh dong dibagi. Terima kasih.

[]

Tinggalkan komentar