Written by

Beberapa tahun lalu, saya pernah handled seorang klien yang cukup keras. Keras dalam artian difficult. Paling tidak, menurut perspektif saya belasan tahun lalu, di saat tingkat pengalaman belum seperti sekarang, si klien ini cukup membuat saya beberapa kali membelalakkan mata saat meetings dengannya, karena komentar-komentar dan tingkah lakunya yang, lagi-lagi menurut saya saat itu, tidak sesuai dengan apa yang sudah kami sepakati. Saking merepotkannya, waktu itu saya bilang ke tim saya, “Kalau dia akan approach lagi buat projects selanjutnya, nggak usah kita ambil, ya. Atau jangan gue yang in charge, pokoknya nggak mau ketemu dia sama sekali.”

Mungkin karena ucapan adalah doa, selama beberapa belas tahun kami tidak pernah bertemu lagi, bahkan dalam kapasitas profesi. Sampai beberapa waktu lalu, saya mendengar kabar bahwa dia akan menikah untuk kedua kalinya. Sebenarnya bukan kabar yang mengagetkan, karena saya tahu kalau dia sudah menjalin hubungan baru, beberapa tahun setelah pasangan hidupnya yang sebelumnya berpulang. Yang membuat saya kaget adalah membaca reaksi dan komentar di akun media sosialnya.

Tak sekadar ucapan basa-basi seperti “selamat menempuh hidup baru” atau “congratulations!“, tapi ada beberapa yang menulis kalau mereka bersyukur, bahkan terharu, melihat dia menikah lagi. Ada yang bilang kalau mereka senang melihat dia menemukan cinta lagi. Ada juga yang bilang bahwa dia terlihat sumringah, auranya memancarkan kelegaan yang tidak dia buat-buat, tidak keras seperti biasanya.

Komentar terakhir menggelitik saya. Secara spontan, saya doom scrolled media sosialnya, mencari tahu apa saja aktivitasnya selama beberapa tahun terakhir, apa saja prestasinya, apa saja yang membuat dia on top of the game selama bertahun-tahun. Pelan-pelan, saya mulai connected the dots. Bahwa dia seorang diri selama beberapa tahun terakhir, terpuruk dalam kesedihan ditinggal pasangan hidup selamanya, sambil terus menghidupi diri sendiri dan timnya, dan harus membuat dirinya relevan. Harus membuat dirinya menjadi top of the mind buat publik. Tentu saja itu tidak mudah dilakukan, dan saya mulai sadar, mungkin karena harus melakukan semuanya sendirian dan harus sebaik mungkin, dia menjadi keras. Dan secara tak sadar, sikap kerasnya beberapa kali keluar saat berinteraksi dengan orang lain, seperti ke saya dulu.

Kadang-kadang memang kita tidak sadar, bahwa kalau kita harus bersikap keras atau toughen up diri kita, dan itu dilakukan setiap saat, maka sikap itu menjadi kebiasaan, dan kebiasaan akan menjadi karakter atau watak kita. Seringnya, kita tidak sadar melakukannya, dan harus diingatkan orang lain. Misalnya, waktu ke luar negeri, saat akan lari pagi, saya pernah pakai earphone dengan kabel, dan kabelnya saya masukkan ke dalam kaus yang saya pakai. Teman saya yang melihat hal itu spontan tertawa, dan berkata, “Itu kabel earphone dikeluarin aja! Nggak usah takut dijambret kayak di Jakarta.” Saya kaget, dan ikut tertawa, sambil berkomentar, “Ya namanya juga kebiasaan!”

Keras memang bisa diartikan macam-macam. Bisa berarti tough to ourselves, bisa juga being difficult unintentionally, atau bisa jadi hard to be at ease, dan berbagai macam spektrum jenis keras terhadap diri sendiri. Apalagi dengan situasi dunia dan negeri kita saat ini, yang rasanya membuat kita susah untuk tidak menjadi keras dalam menjalani hidup.

Dan sering kali saat kita menjadi keras terhadap diri sendiri, kekerasan itu tercurahkan ke orang atau orang-orang lain yang dekat dengan hidup kita, yang akhirnya menjadi keras juga, membangun tembok tak kasat mata di sekeliling dirinya, melindungi dari calon kekerasan lain yang mungkin akan datang. 

We all just want and need to protect ourselves first in any ways possible, termasuk mungkin tak sengaja menjadi keras, kaku dan susah untuk membuka diri, apalagi hati, terhadap orang lain untuk melanjutkan hidup. 

Kalau sudah begitu, kalau kita masih mau mengusahakan, tak lain cara yang bisa dilakukan adalah pelan-pelan. One day at a time, one step at a time

Untuk yang merasa dirinya keras, mari kita saling mengingatkan diri masing-masing bahwa kita tidak bisa hidup sendiri.

Untuk yang mendekati orang yang keras, mari kita mengingat lagi, bahwa orang yang kita dekati terbentuk dari masa lalunya yang membuat dia seperti sekarang. Dan mari kita ambil semua waktu yang kita perlukan untuk menyelami, karena kerasnya hati dan diri bisa kita hadapi dengan lebih baik, seiring waktu berjalan.

Semoga. 

Tinggalkan komentar