Waktu Lebaran kemarin, saat melakukan sungkeman, orang tua saya berkata dan berpesan, “Kita bisa hidup sendirian. Tapi berat. Tidak semua orang kuat menjalaninya. Dan rasa kesepian itu bisa membuat kita sakit. Usahakan cari pasangan, bukan untuk saling membebani, tapi saling membantu satu sama lain. Hidup akan jauh terasa lebih ringan kalau ada pasangan hidup, selama saling melengkapi.”
Saya tersenyum, menggangguk. Lalu meneruskan sungkeman ke anggota keluarga lain.
Dua puluh tahun yang lalu, saya akan membantah semua pesan tersebut dengan segala daya upaya, dan pemahaman dari berbagai sumber yang menurut saya saat itu pasti pas dengan ideologi yang saya anut. Dua puluh tahun kemudian, saya hanya tersenyum dan mengangguk, memahami pesan yang disampaikan, sambil memahami pula, apa yang membuat saya membantah mati-matian dulu.
Saya pernah menulis di blog pribadi dan salah satu akun media sosial pribadi saya belasan tahun lalu, kalau waktu sekitar umur 9 atau 10 tahun, saya pernah disuruh menulis data pribadi di buku harian teman saya. Standar isian waktu itu adalah nama, temtala (tempat tanggal lahir), alamat, kata mutiara, dan cita-cita. Di beberapa halaman yang sudah terisi, saya lihat di bagian cita-cita, rata-rata menulis, “Ingin jadi dokter! Ingin jadi astronot! Ingin jadi presiden!”
Sementara saya? “Ingin jadi ayah dan suami yang baik.”
Yang saya ingat, saya menulis cita-cita tersebut dengan cepat, tanpa pikir panjang. Entah kenapa, waktu itu dorongan menulis tersebut datang begitu saja. Beberapa tahun kemudian, saya paham, kalau tentu saja, saya melihat ayah dan ibu saya.
Tahun ini, mereka merayakan usia pernikahan ke-51. Tahun lalu, perayaan pernikahan ke-50 kami rayakan dengan makan siang bersama di sebuah restoran kecil, sambil ayah saya mengingatkan, “Hari ini kami menikah sudah 50 tahun, lho!” Tentu saja kami, anak-anaknya menjawab, “Ingat, kok. Happy anniversary! Ini makanannya kok nggak dateng-dateng ya?” Untungnya mereka, dan kami, cuma tertawa, tidak seperti orang tua di sinetron yang langsung mengazab anak-anaknya.
Lima sampai empat dekade lalu, usia pernikahan yang lama seperti ini dianggap lumrah atau biasa. Tapi jaman sekarang? Mungkin bisa jadi sebuah keajaiban. Meskipun buat saya, melihat mereka, saya tidak pernah heran mereka bisa bertahan lama.
Mereka berdua saling melengkapi. Ayah saya yang cenderung serius, menjalani hidup bersama ibu saya yang cenderung spontan. Tentu saja sebagai tipikal keluarga Asia yang tidak pernah bilang “I love you” secara gamblang, mereka berdua menunjukkan kecintaan terhadap satu sama lain melalui tindakan. Seperti ibu saya, dengan fisik yang jauh lebih kecil dari saya, bisa menahan ayah yang pingsan saat jatuh, sebelum paramedis datang. Seperti ayah saya, yang selalu memastikan semua aset ibu saya tertata rapi dan tertulis secara teratur.
Beyond love, there’s a respect to each other.
Beyond love, they have mutual understandings that they cannot live without each other.
Beyond love, they know that happiness lies not in dreams, but in real faith and assurance.
Lebih dari tiga dan hampir empat dekade setelah saya menulis cita-cita waktu kecil di buku harian teman saya, terus terang saya tidak yakin, paling tidak saat ini, kalau cita-cita tersebut bisa terwujud. Saya tidak menampik kenyataan bahwa waktu terus berjalan, usia terus bertambah, daya mungkin akan berkurang.
Tapi yang jelas, saya ingin mengabadikan kata-kata yang pernah saya tulis belasan tahun lalu. Kata-kata pengharapan, yang saat saya baca ulang, ternyata masih terasa nyata.
Demi pengabadian kata-kata yang pernah ditulis, ijinkan saya menyampaikan ulang kata-kata di bawah, terutama untuk masa depan saya:
“Allow me to step in to your life, not for being the kind of guy you’ve been used to go out with, or being your ‘type’, but simply for being the guy who accepts who you are, where you come from, how you are, and how you are in your family.
Call me crazy for declaring that, but I am much more interested in your future, rather than your past.
Of course, it’ll be nice to have your future spent with me, but even if it is not, you know that I am still looking after you from afar, until someone else may change the course of our lives.
“Allow me to offer you a steady companionship, and not the killer moves or kisses, for all I have is an assurance that I come home to you, that in the morning I look at you, and that at the odd moments of time, I call, text, pop up and say the most heartfelt ‘hi’ to you.
Think of me as annoying maybe, for both my stubborn silence and bitchy words are guaranteed to equally bug you. Think of me as disturbance maybe, for both my passive and active moves will probably end up similarly in disappointment.
I will end up bearing belly fat, while you end up being the gorgeous one. But you won’t find anyone more comfortable with however you turn out to be.
I will end up doing my dangling dalliances at some point, which you will do, too, to channel out your boredom of me, but let’s make a pact that we will come home to this same pad.
“Because for what we will eventually have is respect and honor to each other.
Because for what we will eventually embark on is something only two of us know. Well, maybe include some others, but are you sure?
Because for what we will eventually choose is made based on our sane logic, rather than temporary glorious feeling.
“And you know what I’d like to have?
Because when people ask me, “What do you want to be when you grow old?”
I’d like to answer that i want to grow old with you.”
Yes, you.

Tinggalkan komentar