Written by

Sekitar seminggu lalu, di suatu pagi, mendadak saya benci bahasa Inggris. Padahal saya sudah belajar bahasa Inggris dari TK. Pekerjaan saya sekarang juga menuntut saya untuk berkorespondensi, berbicara dan memimpin rapat rutin dalam bahasa Inggris.

Namun di suatu pagi beberapa hari yang lalu, tiba-tiba saja saya kesal dengan bahasa Inggris. Apa yang menjadi penyebabnya?

Di pagi itu, saat saya baru bangun dari tidur, hal pertama yang saya lihat di ponsel adalah berita duka kepergian seorang teman lama. Setelah berjuang lebih dari satu dekade melawan kanker dan berbagai komplikasi penyakit lain, takdir dan kekuatan raganya mengatakan, “This is it.”

Sontak saya sedih melihat kabar itu. Lalu saat mencoba menulis pesan di media sosial untuk membagi perasaan berduka, di situlah saya sadar, bahwa dalam bahasa Inggris, saya harus menulis, “We were friends”, bukan lagi “We are friends.” Saya hapus, dan saya coba lagi. Lalu mencoba menulis “You are a fighter”, tapi kesadaran saya menuntun saya untuk bilang dalam hati, “Ini kan harusnya “you were a fighter”, ya.” Lalu saya hapus lagi. 

Sampai akhirnya saya menyerah dengan tuntutan grammar yang benar, dan menulis semacam obituari dengan menggunakan past tense. Sambil menulis, sambil merasa sedih, saya ngedumel sendiri dalam hati, “Kalau bahasa Indonesia, kayaknya nggak perlu ribet mindahin tenses segala ke masa lalu, deh. Paling ya ditambah kata “dulu” aja. We had countless good times, ya tulis aja “dulu kami selalu bersenang-senang bersama.” Kayaknya lebih simpel, deh.”

Dan di saat itu pula, saya tersadar akan sesuatu.

Kapan terakhir saya bertemu secara langsung dengan teman saya ini? Lebih dari lima tahun lalu.

Kapan terakhir berinteraksi secara virtual? Beberapa minggu lalu, saat dia secara tidak sengaja bertemu dengan salah satu mantan pacar saya, lalu dia menyapa saya di aplikasi chat, lalu diakhiri dengan “Yuk kapan kita ketemuan, udah lama banget!”/”Ayo, kabari saja, ya!”, yang tidak pernah terwujudkan.

Kapan terakhir ngobrol dari hati ke hati sampai tidak memperhatikan waktu? Lebih dari sepuluh tahun lalu.

Kenapa terasa sedih sekali saat mendengar kabar kepergian dia? Karena dia adalah bagian dari masa lalu saya, sebelum tinggal di kota tempat saya tinggal sekarang. Karena kedekatan kami sebagai teman adalah bagian dari usia 20-an saya, yang tentunya sudah tidak saya jalani lagi selama beberapa puluh tahun terakhir. Dan kepergian dia adalah kepergian dari sebagian kepingan masa lalu yang memang tidak akan kita bisa bawa lagi secara utuh ke masa depan. Hanya memori atau kenangan yang akan terus membekas.

Kalau sudah begitu, saya akhirnya sadar, memang ada beberapa orang, tempat atau kejadian yang, mau tidak mau, kita harus menggunakan past tense kalau mau menceritakan orang, tempat atau kejadian tersebut. Rasanya inti dan isi ceritanya tidak akan berkurang kualitasnya, hanya karena kita sekarang mengatakan we had atau we used to have, bukan we have atau we are having

Dan yang terpenting, saya tidak menyesali tahun-tahun di mana kami terpisah oleh keadaan, kesibukan dan kehidupan kami yang jauh berbeda. Because those short period of time when we were two best friends and soul mates, we really had a blast.

Tuh, pakai past tense juga kan, akhirnya?

Selamat jalan, teman. I’m glad we once met.

Salam,

Nauval.

Satu tanggapan

  1. imeel Avatar

    saya msh bisa menangkap aura kesedihan dan kehilangan dari postingan ini, pak…Saya jadi rindu kawan lama saya, kangen ngobrol dari hati ke hati sampai tidak memperhatikan waktu….nice posting!

    Disukai oleh 1 orang

Tinggalkan komentar