Disclaimer: tulisan ini akan sangat-sangat berkesan saya-sentris. Tujuan awal menulis ini adalah untuk membantu saya memberi konteks dan pemahaman untuk membantu saya mencerna dan menanggapi perasaan saya dengan sebagaimana mestinya. Kalau mau cari nasehat bijak atau tips menghadapi hidup, silakan lanjut browsing lagi.

…
“Kamu pernah ngga, kecewa sama aku?”
Ditanya seperti itu, pikiran saya langsung menjalar kemana-mana. Bukan hanya terfokus mengenai interaksi saya dengan si penanya, tetapi juga interaksi-interaksi saya dengan orang lain sejauh ini. Setelah lama berpikir, saya menyadari bahwa saya cukup sering dikecewakan oleh orang lain. Tentu saja yang mengecewakan adalah orang-orang terdekat.
Kedekatan dalam hubungan merupakan faktor yang sangat penting apakah saya akan merasa kecewa terhadap orang ini atau tidak. Misalnya, beda kecewanya kalau abang tukang bakso random ternyata sudah habis dan lagi jalan pulang waktu saya panggil, dengan tukang bakso langganan yang selalu saya beli untuk makan siang kehabisan karena ada yang ngeborong untuk arisan.
Beda juga kekecewaannya kalau saya sudah janjian dengan sahabat dekat untuk ketemuan tetapi dia ngaret dan akhirnya waktu ngobrol jadi lebih pendek, atau ketika saya diajak ngopi oleh seorang asing tetapi yang ngajak telat. Karena saya hobi ngobrol dan biasanya sahabat-sahabat saya adalah orang-orang yang ngobrolnya cocok sama saya, pasti kecewa karena waktu ngobrol berkurang. Ketika orang asing yang ngajak ngopi duluan terlambat, saya akan cenderung tidak peduli. Toh tidak dekat. Tidak ada ikatan emosi di situ. Makanya, tidak kecewa dan lebih sebodo lah.
Jangankan sama orang lain, saya juga sering kok kecewa dengan diri sendiri. Dengan standar dan target yang saya tujukan untuk diri sendiri, seringkali saya tidak sanggup atau gagal mencapainya. Untungnya, standar dan target tersebut tidak saya koar-koarkan di sosial media bak resolusi awal taun (“SAYA MAU KURUS!” tetapi apa daya timbangan berkata lain, misalnya), jadi yang malu dan kecewa dengan kegagalan saya lebih banyak ya saya sendiri.

…
Dalam diskusi lainnya bersama salah satu sahabat, saya juga diperhadapkan dengan kenyataan bahwa ekspektasi adalah akar dari segala kekecewaan. Kalau kita menurunkan standar ekspektasi kita, tidak berharap terlalu tinggi, apapun hasil akhirnya kita tidak akan kecewa-kecewa amat.
Kalau kita tidak berharap perasaan berbalas oleh cemceman atau gebetan, ya tidak akan kecewa waktu ternyata yang ditaksir…. naksir sahabat kita sendiri, misalnya #SERINGTERJADI
dan bonus banget kalau ternyata doi naksir kita juga! Kan senangnya jadi berkali-kali lipat! (ini sih proyeksi saja. Gak pernah kejadian di saya.)
Managing expectation.

Ini juga merupakan sebuah teknik yang tidak saya kuasai. Mungkin karena itulah saya masih sering kecewa, dikecewakan (kalau mengecewakan, ya itu salahnya ekspektasi orang lain deh :p) Saya perlu mengubah mekanisme pikiran saya untuk memproses kekecewaan itu baru kemudian saya bisa belajar menakar ekspektasi saya. Cuma, ya itu, susah.
…
Saya sejujurnya bingung.
Kalau secara kausalitas, cara berpikir saya bisa diurut begini:
Memilki hubungan interaksi yang baik → berharap atau memiliki ekspektasi dalam hubungan tersebut agar menjadi lebih baik buat saya →ekspektasi dan harapan tidak dipenuhi → kecewa.
Alasan terkuat mengapa saya tidak menguasai teknik untuk mengatur kadar ekspektasi agar tidak kecewa adalah pikiran saya yang berkonsep all or nothing. Kalau peduli ya peduli, kalau tidak ya tidak sekalian. Tidak bisa di tengah-tengah. Kalau hubungan itu adalah sesuatu yang saya suka dan inginkan, saya akan berharap bisa menjaga atau bahkan menambah kualitas hubungan ini. Benar-benar tidak bisa tidak berharap, kecuali sekalian tidak peduli sama sekali.
Kecewa itu melelahkan, saya akui. Saya juga tersakiti tiap kali saya kecewa.

Tetapi seperti anak kecil yang belajar jalan, saya tidak kepengin berhenti untuk membangun hubungan dengan orang lain. When it works, human relationship is a very powerful thing. Saya sendiri juga sudah merasakan signifikansinya dalam hidup saya sendiri.
Paling, saya jadi lebih malas bertemu dan memulai hubungan yang baru dengan orang lain…. Malas untuk memulai lagi dari awal, mengenal dan berusaha mendekat. Melelahkan. Belum lagi kalau kemudian dikecewakan. Makin melelahkan.
…
Seperti yang sudah saya sampaikan di awal, melalui tulisan ini saya sendiri sedang berusaha mencari perspektif lain yang bisa saya terapkan untuk memproses kekecewaan yang sering saya alami. Mencari hikmah. Kali aja bisa.
Bagaimana kalau kekecewaan itu saya jadikan tolok ukur? Karena saya tidak bisa melepas ekspektasi dan harapan, mungkin kekecewaan itu bisa dijadikan suatu penanda situasi dan realita saat itu. Seperti sebuah checkpoint, begitu. Jadi saya bisa mengukur, apakah ekspektasi dan harapan saya tidak masuk akal? Dan kenapa saya bisa berharap seperti itu? Adakah tujuan yang ingin saya capai? Kenapa bisa tidak tercapai?
Agar tidak berlarut-larut, saya biasanya berusaha fokus pada apa yang bisa saya lakukan untuk memperbaiki keadaan. Dengan mengetahui persis jarak antara realita yang dihadapi dengan harapan yang saya miliki, semoga saya bisa menemukan cara untuk tidak kecewa terlalu lama, atau lebih parahnya, semoga tidak putus harapan sekalian.
Kalau ekspektasi saya tidak realistis, saya harus mengajarkan diri sendiri bahwa ada keterbatasan dan mengubah sudut pandang saya. Tidak mungkin juga semuanya harus seperti yang saya inginkan, tetapi saya yakin juga dengan memiliki keinginan itu, paling tidak saya bisa mengarahkan daya dan usaha untuk mencapai keinginan tersebut.
Ada saran lain untuk menghadapi kekecewaan selain dengan cara-cara yang sudah saya sebut, barangkali?
Tinggalkan komentar