Wiro Sableng adalah serial buku silat yang sangat terkenal di Indonesia. Dan uniknya, setau saya, buku ini tidak hadir di toko buku besar. Di kota saya, ini bisa dicari di toko buku Palasari, atau toko buku emperan di Cikapundung, bersandingan bersama buku stensilan Enny Arrow dan Nick Carter. Di era 80-90an Wiro Sableng adalah primadona buku silat Indonesia. Kalau Marvel mempunyai Stan Lee maka Indonesia punya Bastian Tito.

Sebelum difilmkan sebetulnya Wiro Sableng sempat dibuat sinetron di RCTI sekitar medio 90an kalo saya tidak salah, dengan Ken Ken sebagai Wiro Sableng. Lalu pada tahun ini Wiro Sableng dibuat film dengan Vino G. Bastian, yang juga anak dari Bastian Tito, sebagai Wiro Sableng. Tentunya film ini sangat ditunggu untuk pembaca buku Wiro Sableng seperti saya. Saya penasaran bagaimana hasilnya.
Tetapi setelah saya menonton film ini saya merasa kecewa. Walaupun kabarnya sampai hari ini sudah tembus 600 ribu orang yang menonton film ini tapi saya merasa terganggu dengan jalan cerita dari film ini. Saya tidak mempermasalahkan CGI, karena saya pikir film Wiro Sableng tidak begitu banyak memerlukan teknik CGI. Tapi spesial efek menurut saya perlu. Karena banyak jurus yang membutuhkan spesial efek agar terlihat dahsyatnya bagaimana jurus Pukulan Sinar Matahari atau Benteng Topan Melanda Samudra divisualkan. Saya tidak lihat ada di film ini. Saya lupa apa Wiro mengeluarkan jurus Kunyuk Melempar Buah di film ini atau tidak. Saya sangat menantikan itu. Sama seperti saya menantikan Wong Fei Hung mengeluarkan jurus Tendangan Tanpa Bayangan di film trilogi Once Upon A Time In China.

Saya melihat di sini, Seno Gumira Ajidarma, sebagai penulis skenario terlihat memaksakan untuk memasukan banyak karakter, baik musuh maupun lawan ke dalam film ini. Ini bisa menjadi keuntungan tapi bisa juga menjadi kerugian. Terhitung ada tujuh penjahat di film ini yang hadir sebagai lawan Wiro Sableng. Sementara dari kubu Wiro Sableng saya hitung ada empat karakter. Total sebelas karakter yang kesemuanya penting dan mempunyai cerita sendiri di bukunya. Tapi itu tidak dijelaskan di filmnya. Semuanya menjadi kabur dan tidak fokus. Tidak jelas asal-usulnya. Tiba-tiba muncul. Ini siapa? Itu siapa?
Angga Dwi Sasongko, sebagai sutradara pun terlihat kewalahan untuk memasukan semua karakter dalam satu film yang hanya berdurasi dua jam. Jadinya editing sedikit berantakan. Agak dipaksakan. Yang pada akhirnya hanya Wiro Sableng dan Bujang Gila Tapak Sakti yang menonjol. Mahesa Birawa memang komandannya, tapi siapa itu Kala Hijau? Pendekar Pemetik Bunga ini menarik. Lelaki tetapi kemayu. Kita semua ingin tau latar belakangnya. Iblis Pencabut Sukma ini dari mana datangnya? Koq misterius dan perannya minimal sekali. Kenapa sekonyong-konyong Anggini dan Dewa Tuak bertemu di tengah hutan dengan Wiro? Semuanya serba cepat. Tidak ada kontinuitas. Angga pun sering sekali memakai zoom untuk adegan filmnya. Bahkan di adegan duel. Mata saya agak pusing lihatnya. Apakah teknik ini mengambil dari film-film Jason Bourne? Saya tidak tahu.

Film Wiro Sableng ini mengingatkan saya pada film Batman Forever atau Batman & Robin yang dibintangi oleh Val Kilmer sebagai Batman. Di film ini pun banyak karakter yang terlibat. Ada The Riddler, Mr. Freeze, Bane, Poison Ivy, Robin, Harvey Two-Face, Chase Meridien dan lain-lain. Semuanya dibintangi bintang film kelas atas. Tapi hasilnya film ini jadi samar. Parade penjahat dan protagonis. Kabur. Semua berusaha mencuri panggung dan Jim Carrey sebagai The Riddler adalah pemenangnya. Dan beruntung film ini punya sontrek yang lagunya abadi dari Seal. Walau saya lebih suka U2.

Lalu kita bandingkan dengan Batman Trilogy versi Nolan. Kita lihat di Batman Begins. Jonathan dan Chris Nolan hanya fokus pada bagaimana proses Bruce Wayne menjadi Batman. Penjahatnya cuma dua, Ra’s Agul dan Scarecrow. Bukan penjahat utama. Karena puncak dari trilogi ini ada di sekuelnya, The Dark Knight, di mana Batman bertemu dengan musuh bebuyutannya yang sulit dikalahkan, Joker. Sementara di The Dark Knight Rises, Batman bertemu dengan Bane. Kita lihat bagaimana Nolan Bersaudara meramu trilogi ini tanpa harus memaksakan semua karakter berada di dalam film. Walaupun sebetulnya mereka bisa melakukan itu. Tapi mereka akan menghadapi resiko yang sama dengan Batman Forever atau Batman & Robin. Dan penggemar Batman pun akan tahu bahwa Michael Keaton dan Christian Bale lebih superior dari Val Kilmer ataupun George Clooner.

Kenapa saya membandingkan Wiro Sableng dengan Batman Trilogy? Selain keduanya adalah superhero, di post-credit scene juga saya lihat ada Pangeran Matahari. Ini artinya bakal ada sekuelnya, bahkan saya dengar akan dibuat trilogi juga film ini. Pangeran Matahari adalah Joker atau Lex Luthor versi Wiro Sableng. Dia sangat sakti. Sinto Gendeng pun kerepotan melawannya. Dan kalau boleh saya berharap, agar penulis naskah dan sutradara agar lebih fokus kepada satu karakter ini. Buatlah Pangeran Matahari seperti Joker di The Dark Knight. Saya ingin melihat visual yang sama ketika saya membayangkan Pangeran Matahari di bukunya. Bujang Gila Tapak Sakti boleh dipertahankan. Sambil ditambah mungkin Pendekar Hidung Belang Berkipas Sakti buat menyemarakkan suasana. Ini semua saya tulis karena kecintaan saya terhadap buku favorit masa kecil saya. Saya ingin sekuelnya dipoles mendekati sempurna.
nb: Oiya satu lagi. Prostetik Sinto Gendeng itu sangat mengganggu dan tidak perlu. Saya jadi curiga Sinto Gendeng itu satu almamater dengan Haji Jeje. Rikues Renny Djayusman boleh gak? Dia tidak usah akting juga sudah gendeng dari sananya.
Tinggalkan komentar