Rindu Ibu dan Bapak di Hari Raya

Oleh: Firdaus Cahyadi

 

Perumahan Tamansari Persada Bogor mulai lengang. Suara anak-anak yang biasanya ribut saat bermain pun tidak terdengar lagi. Sebagian besar penghuninya telah mudik ke kampung halamannya. Sementara aku dan keluarga merayakan hari raya di Kota Bogor yang sudah ditinggalkan sebagian besar penghuninya. Beginilah yang terjadi setiap menjelang Idul Fitri.

Bosan dengan suasana sepi. Aku pun mencoba membuka-buka facebook. “Ah, status teman-teman nyaris sama. Pulang kampung,” kataku dalam hati. Sudah bertahun-tahun aku dan keluarga tidak pulang ke Magetan, setiap lebaran tiba. Kadang aku iri dengan mereka yang merayakan lebaran di kampung halamannya. Aku iri pada mereka yang masih memiliki kedua orang tua.

Ada sesuatu yang hilang setiap lebaran tiba sejak bapak dan ibuku meninggal dunia. Sejak saat itu jarang sekali aku pulang ke kampung halaman. Aku hanya sesekali datang ke Magetan untuk berziarah dan berdoa di pesarean[1] bapak dan ibuku. Semasa mereka hidup aku bukan teramasuk anak yang baik. Dibandingkan saudara-saudaraku, mungkin akulah yang pernah membuat mereka kecewa.


“Ibu bangga denganmu, Yak,” ujar Ibu sambil mengecup keningku. Aku hanya terdiam terpaku. “Untuk merayakan keberhasilanmu, Ibu akan menggoreng ati ampela[2] khusus untuk mu,” lanjutnya. Makan ati ampela adalah sebuah keistimewaan bagiku. Jarang sekali aku makan makanan itu. Biasanya aku hanya makan dengan lauk tempe, tahu dan telur. Ekonomi keluargaku tidak memungkinkan aku makan daging setiap hari.

Tapi hari itu sangat istimewa. Nilai Ebtanas[3] (NEM) SMA-ku sangat tinggi. NEM-ku 52,25. Jika dirata rata dengan 7 pelajaran yang di-Ebtanaskan, maka rata-rata nilaiku 7 lebih. Ini adalah sebuah prestasi tersendiri karena NEM-ku melampaui NEM kakaku yang kuliah di Teknik Elektro ITS[4] Surabaya. NEM kakaku hanya 49.

“Setelah ini kamu akan kuliah dimana, Yak?” tanya bapakku, “lebih baik kamu kuliah di perguruan tinggi yang menyediakan ikatan dinas saja, selain gratis juga dapat langsung kerja.”

“Masmu bisa kuliah di ITS karena dapat beasiswa”

“Kalau kamu ingin kuliah, harus masuk perguruan tinggi negeri, dan itupun kamu harus dapat beasiswa seperti masmu, Bapak dan Ibu tidak bisa membiayai kuliahmu”

Aku hanya terdiam. Aku tahu kedua orang tuaku hanya seorang pedagang asongan di sebelah kantor cabang Bank Rakyat Indonesia (BRI). Tentu akan sulit bagi mereka untuk membiayai kuliahku.

“Aku ingin kuliah di UGM[5], bu,” ujarku pada ibuku.

“Aku ingin ambil jurusan sospol[6].”

“Mau kerja dimana kamu setelah lulus kuliah jurusan politik?” jawab ibuku

“Kalau bisa anak laki-laki itu kuliah di teknik, biar jadi insinyur,”

“Nilai matematika dan fisikamu bagus,”

“Kamu bisa kuliah di ITS, biar masmu nanti yang menjagamu di Surabaya.”

“Tapi bu, aku tertarik ke masalah sospol,” jawabku.

“Ibu tahu, tapi untuk terjun ke politik tidak harus masuk ke sospol,”

“Bung Karno itu ahli politik, tapi dia adalah seorang insinyur.”

Aku terdiam. Dalam hatiku membenarkan apa yang dikatakan Ibu. Aku memang tertarik pada matematika dan fisika tapi aku lebih suka membaca koran dan buku-buku tentang politik. Sementara, bapakku tetap menginginkan aku masuk ke sekolah ikatan dinas, apapun jurusannya. Alasannya lebih pragmatis. Agar cepat kerja.

Akhirnya, aku turutin nasihat ibu dan bapakku. Aku daftar kuliah di dua kampus yang memberikan ikatan dinas. Ikatan dinas itu diselenggarakan oleh sebuah perusahaan besar. Selain itu akupun mendaftar UMPTN[7] dengan pilihan jurusan Teknik Mesin ITS.


Waktu terus berlalu. Hingga saat pengumuman hasil ujian masuk PTN dan kuliah di ikatan dinas tiba. “Alhamdullilah, aku diterima di Teknik Mesin ITS, dan juga mendapat panggilan dari dua institusi yang memberikan kuliah dengan ikatan dinas, bu,” kataku.

Ibuku tampak terharu. Matanya berkaca-kaca. “Sekarang kamu pilih yang mana, Yak?” tanyanya. “Jika kamu pilih ITS, maka kamu harus dapat beasiswa seperti masmu,” ujar bapakku.

Aku bingung. “Aku pilih Teknik Mesin ITS bu,” ujarku, “Aku akan cari beasiswa untuk membiayai kuliahku,”

Ibuku menghampiri dan memelukku. Tak terasa air matanya menetes di pudakku. Sementara bapak hanya diam. Matanya mulai tampak berkaca-kaca. Aku menduga kedua orang tuaku sangat bangga karena kedua anaknya bisa kuliah di ITS. Anak orang kaya saja belum tentu bisa menyekolahkan anaknya di ITS. Lha ini pedagang asongan, kedua anaknya bisa kuliah di ITS. Terbayang di benak orang tuaku, kedua anaknya menjadi insinyur jebolan ITS.


Waktu berlalu. Akupun mulai kuliah di ITS. Aku satu kamar kos dengan kakaku di jalan Gebang Lor, tak jauh dari kampus ITS Surabaya. Sama seperti kakaku, aku mendapat beasiswa dari beberapa perusahaan di Surabaya. Namun aku berbeda 180 derajat dengan kakaku.

Kakaku bukan hanya sangat rajin kuliah namun juga rajin puasa Senin-Kamis. Sementara aku lebih rajin mengikuti organisasi mahasiswa. Aku lebih sering datang di acara diskusi politik di Kantin ITS atau di Universitas Airlangga (Unair) Surabaya, daripada mengikuti kuliah di kelas. Aku lebih sering berorasi di aksi mimbar bebas di kampus dan demonstrasi mahasiswa daripada mempresentasikan tugas kuliah di depan dosen.

Kesibukanku menjadi aktivis mahasiswa semakin bertambah di tahun 1998. Saat itu hampir seluruh mahasiswa Indonesia, tak terkecuali mahasiswa Surabaya, bergerak menuntut Soeharto lengser dari jabatannya sebagai Presiden Indonesia. Saking sibuknya, pernah dalam seminggu aku datang ke kampus tapi bukan untuk kuliah melainkan untuk menggelar rapat-rapat gerakan mahasiswa.

Indeks Prestasi (IP) ku pun jeblok. Aku terancam drop out dari ITS. Aku telah mengecewakan banyak pihak. Aku mengecewakan kedua orang tuaku, kakak-kakakku, dan pemberi beasiswa kepadaku. Dengan IP ku yang jeblok itu aku berkesimpulan, cepat atau lambat aku pasti akan ditendang dari ITS. “Percuma saja aku bertahan di ITS, semakin lama aku bertahan di kampus ini akan semakin lama pula aku mengecewakan mereka,” gumamku.

Sebuah keputusan yang berat untuk meninggalkan ITS, sebuah kampus bergengsi yang menjadi idaman banyak orang. Tapi aku harus ambil keputusan. Aku tak mau menanggung banyak dosa karena mengecewakan banyak orang. Namun, yang masih mengganjal di pikiranku adalah bagaimana aku harus mengabarkan nanti kepada kedua orang tuaku. Terbayang betapa kecewanya mereka atas keputusannku. Anaknya gagal menjadi insinyur jebolan ITS.

“Bu, aku keluar dari ITS,” kataku terbata-bata. Aku ceritakan apa yang aku kerjakan selama kuliah di ITS. Ibuku terdiam. Aku melihat raut kekecewaan di wajahnya. Air matanya kembali jatuh. Aku terdiam. Aku merasa berdosa telah mengecewakannya. Ibuku pun datang menghampiriku. Ia memelukku.

“Ibu salah, harusnya kamu memang kuliah di sospol bukan di teknik, maafkan Ibu.”

“Bukan ibu yang salah, tapi aku,”

“Aku gagal menjadi insinyur teknik mesin dari ITS, seperti yang ibu impikan.”

“Ga apa-apa nak,” ujar ibu seraya melepas pelukannya.

Sementara bapak hanya terdiam. Aku yakin ia juga kecewa. Sejak pengakuanku itu, aku jadi jarang bicara dengannya. Nampaknya ia begitu terpukul dengan keputusanku.


Gema takbir berkumandang. Biasanya di malam takbiran seperti ini Ibu dan kakak-kakakku perempuan sibuk membuat nasi kuning dan hidangan hari raya. Sementara kami, anak-anak laki-laki, ke masjid untuk ikut takbir keliling. Meskipun dalam kondisi ekonomi yang sulit, Ibu sudah mempersiapkan baju baru buat kami seluruh anak-anaknya di hari raya seperti ini.

Gema takbir membuat kerinduan kepada ibu kembali memenuhi dadaku. Andai ibu dan bapak masih hidup, aku berjanji tidak akan mengecewakan mereka lagi. “Ibu aku rindu, bapak aku rindu,” kataku dalam hati. Ingin kupeluk kedua orang tua itu bila berada di depanku. Kerinduan ini selalu datang dan mengoyak jiwa di setiap datang hari raya. Tak terasa sudah 13 tahun lebih aku tidak melihat wajah Ibu dan bapak setiap lebaran tiba. “Maafkan aku ibu…Maafkan aku bapak.”

[1] makam

[2] Hati ayam

[3] Evaluasi Belajar Tahap Akhir Nasional

[4] Institut Teknologi Sepuluh Nopember, sebuah perguruan tinggi negeri teknik dan sains di Surabaya bergengsi dan menjadi dambaan setiap lulusan SMA di Jawa Timur

[5] Universitas Gajah Mada, Yogyakarta

[6] Sosial Politik

[7] Ujian Masuk Perguruan Tinggi Negeri

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Gambar Twitter

You are commenting using your Twitter account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s