Data Kejujuran

Waktu saya baru lulus SMP, dan mau masuk SMA, keluarga kami memutuskan untuk pindah ke luar kota. Pertimbangannya adalah waktu yang pas: adik saya mau masuk SD, kakak saya baru masuk kuliah, sehingga ibu memutuskan untuk pindah ke kota tempat ayah bekerja. Namun saya menolak ikut pindah. Maklum, usia remaja tanggung. Sering menghabiskan waktu bersama teman-teman di luar rumah, sehingga takut kehilangan teman-teman sepermainan.

Saya merengek tidak mau ikut pindah. Ibu saya bersikeras, bahwa kepindahan kali ini tidak bisa ditunda lagi. Akhirnya ibu saya mencari jalan tengah.

“Coba kamu bikin daftar alasan kenapa kamu mau tetap di sini terus.”

Saya bingung. “Daftarnya kayak gimana?”

“Ya kamu tulis di atas kertas. Kamu tulis, dikasih nomer, alasan-alasan apa saja yang membuat kamu nggak mau ikut pindah dan sekolah di sini.”

Saya ambil kertas kosong dan bolpoint. Saya bingung mau menulis apa. Akhirnya saya tulis saja sekedarnya.
Saya tulis, “masih mau main sama teman-teman”, “sudah tahu mau daftar SMA di mana”, “nggak suka sama kota baru nanti”, “sudah hapal jalur angkutan umum ke sekolah”, dan sebagainya.

Beberapa jam kemudian, saya menyerahkan daftar itu ke ibu saya. Di sela-sela mengemas barang pindahan, dia hanya melihat sejenak daftar itu. Lalu dia membantu saya untuk merapikan daftar itu.

“Sekarang, kamu bikin dua kotak. Yang kiri, kamu tulis Pro. Itu berarti kamu tulis, kira-kira apa untungnya kalau kamu ikut pindah. Yang kanan, kamu tulis Con. Itu artinya Contra. Itu berarti kamu tulis, kira-kira apa kerugiannya kalau kamu ikut pindah.”

Saya membuat dua kolom itu sekedarnya. Saya tulis saja di bagian kiri “kalau ikut pindah, tinggal sama ortu”, “tinggal satu rumah”, “ada yang masakin”. Di bagian kanan “pisah dari temen”, “nggak siap sama lingkungan baru”, dan lain-lain.

Setelah melalui omongan berhari-hari, akhirnya ibu saya pun merelakan saya tidak ikut pindah. Syaratnya, saya harus pindah dari rumah kami yang akan disewakan, dan harus tinggal sendiri, atau nge-kost.

Saya pun menerima keputusan itu dengan senang hati. Yang terbayang hanya rasa senang. Belum terbayangkan akan kelimpungan sendiri mengatur keuangan pribadi, terutama saat akhir bulan.

(courtesy of hbr.org)
(courtesy of hbr.org)

Cut to beberapa belas tahun kemudian. Saya sedang mengalami dilema besar, harus mengambil keputusan di antara dua pilihan yang tidak bisa dijalani bersamaan. Akhirnya, mau tidak mau, setelah curhat dengan beberapa orang belum bisa mencairkan pikiran, kembali saya mengambil buku catatan.

Saya buka lembar kosong pertama yang saya temukan. Saya tulis “Why”. Kenapa saya harus memilih. Poin pertama, cukup saya tulis, “I no longer have the heart in it.” Sekenanya saja saya menulisnya.
Setengah jam kemudian, kertas itu sudah terisi penuh dengan tiga puluh poin pendek alasan saya harus memilih.

Satu jam kemudian, tak hanya kertas itu yang terisi. Di lembar-lembar berikutnya, masing-masing halaman sudah terisi penuh dengan heading “Pro”, “Con”, “Exit Plan”, “Possible Outcome”.

Dan di saat seperti ini, rasanya saya paling bisa jujur ke diri sendiri.
Karena rugi kalau tidak jujur saat berdialog menentukan nasib dan hidup.

Selain ngobrol dan berdoa, ternyata membuat daftar-daftar pendek saat kita harus memilih ini sangat membantu. Seremeh apapun isinya. Saya bisa menulis “karena sebel liat mukanya” atau “bawaannya pengen marah melulu” saat mendata apa saja yang saya rasakan selama ini di suatu kasus. Atau bisa saja tulisannya sekedar “udah bosen”.

28290-di3-making-decisions-work-220x207

Mendata apa saja yang kita rasakan ternyata membantu kita mengambil keputusan. Asal jujur, unfiltered dan apa adanya.

Dan proses mencatat, bukan mengetik, tapi menulis dengan tangan, memudahkan kita untuk semakin ekspresif. Kita bisa kaget sendiri melihat apa saja yang bisa kita tuangkan dalam waktu sejenak. Kita bisa terkejut dan takjub atas pemikiran kita yang selama ini kita pendam.

Hopefully by then, keputusan yang kita ambil adalah keputusan yang terbaik setelah kita mendata apa yang kita rasakan selama ini.

At least, we are finally honest to ourselves.

In the Mood for Love.
In the Mood for Love.

19 tanggapan untuk “Data Kejujuran”

  1. […] aja mikir lama. Apalagi keluar dari kerjaan, beb. Mikirnya lama banget. Kalo perlu sampe bikin daftar do’s and don’ts, pros and cons buat temen mikir. Galaunya bisa lebih dari galau gak dikirimin pesen “lagi ngapain?” ama cacar, […]

    Suka

  2. Aaaah gue juga suka bikin list pro-con gini hahaha gue gak weird berarti, ada temennya :))

    Suka

    1. When it comes to planning, no one is really alone, bang Ben. 🙂

      Suka

  3. jadi inget kuliah risk and reliability analysis,
    biar lebih hardcore probabilitas kegagalan plan A plan B plan C bisa diitung juga asal definisi parameternya tepat
    *terus abis ini buka perusahaan asuransi :v

    Suka

    1. Huwow! Sayang sekali, dulu gak pernah dapet statistik waktu kuliah. #merasagagal

      Suka

  4. In the mood for love. A frame in a frame…

    Suka

    1. Subtlety’s the key.

      Suka

      1. Everybody has their secrets

        Suka

        1. Just like Maggie Cheung, bawa rantang.

          Suka

          1. Ketemuan di gang belakang kayak Backstreet Boys?

            Suka

            1. Trus pake jaket, kaos, celana dan sepatu keds putih semua.

              Suka

                1. Ain’t nothing but a heartache …

                  Suka

                    1. I never wanna hear you say

                      Suka

                    2. Coz I want it that way

                      Suka

                    3. Aaaaaahhhh … fangirl screaming

                      Disukai oleh 1 orang

                    4. Anak SMU pada masa itu dengan rok span putih abu-abu

                      Suka

                    5. And junior high schoolers, too.

                      Suka

Tinggalkan komentar

About Me

I’m Jane, the creator and author behind this blog. I’m a minimalist and simple living enthusiast who has dedicated her life to living with less and finding joy in the simple things.