Judge Me

5 November 2016. Sehari setelah aksi damai yang awalnya berlangsung damai, tercoreng kerusuhan menjelang usai. Banyak berita dan gosip yang menyatakan, kerusuhan itu tak berkaitan langsung dengan aksi damai. Namun membaca dari linimasa Twitter, dan beberapa cerita di Whatsapp group, banyak keturunan Cina malam itu ketakutan. Mendadak luka Mei 1998, terbuka lagi.

Sejak 1998 sampai 2016, bukan sedikit keturunan Cina yang melakukan introspeksi. Mencoba melihat ke dalam, kekurangan dan kesalahan apa yang selama sudah dilakukan. Bukan hanya agar tragedi tak lagi terulang, tapi juga bisa memperbaiki hubungan sehingga harmonis.

Selama 18 tahun, terdengar banyak pendapat mengenai warga keturunan Cina di Nusantara. Diantaranya, warga keturunan itu mata duitan, kaya raya, pekerja keras, kasar tutur bahasanya, tidak ramah, sombong dan lainnya. Yang sebenarnya sama saja dengan stereotype yang diberikan kepada suku-suku lain. Orang Medan kasar, Jawa halus, Padang pedagang, dan ah sudahlah, lepas dari benar atau tidaknya, faktanya sudah jadi perbincangan halus diantara kita.

Kalau kita percaya, tak ada asap kalau tidak ada api, maka kita bisa mengambil kesimpulan stereotyping itu tidak terjadi begitu saja tanpa pemicu. Dan sepertinya, sulit kalau hanya terjadi sekali. Berkali-kali dan diamini oleh pengalaman banyak orang. Tak hanya urusan suku, dalam urusan jenis kelamin pun terjadi dan bahkan sudah mengakar. Contohnya, perempuan tak bisa parkir mobil dan laki-laki hidung belang.

Ada banyak usaha dilakukan untuk mengikis stereotyping ini. Ada yang perlahan berhasil tapi banyak yang justru malah semakin mengakar. Ketika seorang perempuan berpakaian seksi dan berujar kasar di media sosial, dengan segera dia dicap sebagai “perempuan nakal”. Sementara kalau laki-laki memamerkan tubuh indahnya dan berujar kasar, kemudian disebut “cool bad boy”. Jangan salah, cap ini tak hanya dilakukan oleh yang berbeda jenis kelamin tapi bahkan lebih banyak dari kelamin sejenis. Perempuan menghakimi sesama perempuan demikian pula laki-laki.

Kalau kita percaya manusia adalah hasil perjalanan hidupnya, penghakiman ini menjadi hal yang sangat manusiawi. Seseorang yang pernah diserang Tikus, bisa jadi seumur hidup takut Tikus. Benci dan bahkan jijik. Media-media yang ditemukan kemudian pun bisa jadi semakin mengukuhkan penghakiman itu. Tak peduli kalau ada riset yang mengatakan Tikus itu sebenarnya bersih. Pun termasuk orang-orang yang belum pernah punya pengalaman buruk dengan tikus atau hanya pernah melihat tikus di gambat.

Tak ada manusia yang senang dihakimi. Permasalahannya, usaha untuk menghilangkan penghakiman itu tidak konsisten atau bahkan tidak ada sama sekali. Ditambah dengan adanya media sosial yang menjadi tempat manusia yang memproklamirkan dirinya, bukan hanya penghakiman yang semakin tegas, tapi juga seolah pernyataan siap dihakimi. “Judge me all you want, I don’t give a damn” kurang lebih begitu ekspresinya.

Benarkah keturunan Cina itu pekerja keras? Ada benarnya ada pula tidaknya. Bagi yang sudah mengenal keturunan Cina dua atau tiga generasi, sesama mereka pun banyak yang menghakimi. Misalnya, keturunan terakhir bekerja tak sekeras generasi di atasnya. Atau generasi terkini lebih suka foya-foya. Semakin banyak contoh yang mendukung pernyataan ini, semakin keras pula ketukan palunya.

Padahal di saat yang bersamaan, banyak pula keturunan Cina terakhir yang bekerja lebih keras dari generasi sebelumnya. Mereka bisa jadi tak peduli dengan penghakiman ini. Tapi banyak juga yang kemudian memilih untuk menghidupkan saja penghakiman yang sudah diberikan kepadanya. “Udah kadung dibilang pemalas, yawdah lah malas aja beneran”. Di sini masalah kemudian terjadi. Tapi haruskah lingkungan yang menghakimi yang disalahkan?

Kita sering mendengar yang bilang “don’t judge me, please”. Oh well, no dear. Orang akan selalu menghakimi. Dan itu tak tertutup hanya pada hal buruk. Tapi juga bisa jadi baik. Maka, selamanya jangan pernah menyalahkan lingkungan yang menghakimi. Tapi ubahlah penghakiman seperti yang diinginkan. Kalau memang ingin dianggap rajin, ya rajinlah bekerja. Ingin dinilai pandai bertutur dan berperilakulah pandai. Kalau ingin dianggap kaya, tampilkanlah kekayaanmu oops Asal jangan pernah lupa, setiap aksi pasti ada reaksi yang kita inginkan dan tidak kita inginkan.

Gak usah sedih, dalam upaya memperbaiki penghakiman itu, akan ada penghakiman lagi yang disebut “butuh pengakuan” dan kemudian ditarik kesimpulan “anaknya insecure”. Terus berkembang sampai di titik tak peduli apa kata orang. Percayakah? Apakah ada orang-orang yang benar tak peduli apa kata orang?

Saat sedang menyaksikan Jakarta Fashion Week 2017 kemarin, ada beragam gaya orang yang hadir. Tentunya, ada yang hadir cuek. Seolah tak peduli fashion, tak peduli apa kata orang. Tanpa disadari, sebenarnya peduli. Ingin dihakimi sebagai “tak peduli fashion”. Yang mungkin tak disadarinya, itu pun ada alirannya juga. Bahkan ada aliran berbusana yang disebut “trashy” :p

Tak selamanya penghakiman atau stereotyping itu buruk dampaknya. Malah seharusnya juga bisa digunakan sebagai motor penggerak untuk melawan atau memperdalam penghakiman itu. Kembali ke individu masing-masing saja. Perbuatan tentu akan lebih berguna ketimbang ucapan permintaan untuk tidak dihakimi.

Ungkapan “don’t judge the book by it’s cover” semakin lama semakin terasa kosong makna. Mengapa tidak boleh menghakimi buku dari sampulnya? Bukankah itu akan memberikan semangat bagi penulis dan penerbit untu menghadirkan sampul buku yang menarik. Mengapa tidak boleh menilai orang dari penampilannya? Bukankah itu impresi pertama dan bisa jadi penyemangat orang untuk merawat dan mempedulikan penampilannya.

penulis menulis ini dalam kondisi kurang tidur. Hakimi saja tulisan dan penulisnya.

3 tanggapan untuk “Judge Me”

  1. sorry, OOT ya koh, saya liat-liat kok ukuran font-nya besar kecil ya, kalau dibaca di komputer? siapa tau ada ketidaksempurnaan teknis. Terima kasih. 🙂

    Suka

    1. Ooowh apa karena aku nulisnya di henpon ya kali ini… sip2 nanti aku cek, makasiiiih

      Suka

  2. Saya menghakimi… pengen aja menghakimi

    Disukai oleh 1 orang

Tinggalkan komentar

About Me

I’m Jane, the creator and author behind this blog. I’m a minimalist and simple living enthusiast who has dedicated her life to living with less and finding joy in the simple things.