Table for One

Setelah percakapan santai di ruang oborolan Linimasa saya baru bisa melihat bangsa kita dari sudut lain. Bukan, ini bukan tulisan mengenai Sumpah Pemuda. Selama ini saya sangka minat baca kita kurang karena ya, tidak dibiasakan saja. Tidak pegang data yang valid, perbandingan minat baca pra-ponsel pintar dan setelahnya, tetapi curiganya sih, tidak terlalu jauh berbeda. Saya percaya yang namanya pengalian perhatian, jika dicari ya pasti ada saja. Mau itu TV, smartphone, Game & Watch (jamdul, kak), tetris, TTS atau apapun itu yang membuat kita jadi tidak ingin membaca buku.

table-for-one-800x543

Kemudian Glenn menunjukkan kalau membaca itu kegiatan personal, sementara orang kita lebih suka apa apa yang sifatnya komunal, jadi tentu membaca tidak populer. Kemudian penulis Linimasa hari Minggu ini juga menceritakan kasus, bahwa dulu diperkenalkan deterjen yang hanya membutuhkan sekali bilas, dan dikampanyekan agar sang ibu lebih banyak “me time“. Hasilnya, tidak laku. TAPI KENAPA? Tanya saya. Bahwa seorang ibu bisa tidak merasa memerlukan me time itu adalah konsep yang sangat asing buat saya. Sementara saya (jika situasi dan kondisi memungkinkan) sering seharian tidak keluar kamar yang gelap, dengan berbekal satu season serial yang mencekam, dan masih merasa terganggu jika harus menerima telepon maupun menjawab pesan di ponsel.

hopper

Ternyata semboyan “mangan ora mangan sing penting ngumpul” itu bukan cuma jargon. Ternyata saya sepertinya pencilan minor. Sementara menurut teman-teman penulis Linimasa, makan dan nonton sendiri di sini masih dianggap menakutkan dan aneh (saya sungguh bisa menikmati, dibandingkan ditemani seseorang yang membosankan atau menyebalkan). Bisa berminggu-minggu tidak harus keluar rumah dan berinteraksi dengan manusia lain, saya merasa bersyukur dan tidak merasa kehilangan, sampai ketika harus mengobrol dengan teman-teman dan sepertinya saya jadi harus berlatih kembali mengungkapkan pendapat dengan urut (karena terlalu biasa bicara dalam hati).

vol_9_table_for_one_cover

Malah menurut Dragono, ada yang mengadakan communal reading, di mana sekelompok orang duduk dan membaca buku yang sama; sesekali satu orang diminta membaca dengan lantang paragraf yang dibacanya. Sekali lagi, this is an alien concept to me. Tetapi ternyata dengan cara ini minat baca lebih bisa didongkrak. Lalu ditambahkan lagi bahwa ini tidak eksklusif perempuan, bahwa banyak juga laki laki yang mengaku ‘tidak bisa makan kalau harus sendiri’. Oh ya baiklah. Kalau begitu mungkin kolega saya banyak yang sering merasa kasihan karena saya selalu duduk di pantry sendiri, mengunyah makan siang saya. Padahal dalam hati saya sedang gembira sekali, karena akhirnya saya ada waktu untuk mengejar membaca reddit atau Buzzfeed.

16 tanggapan untuk “Table for One”

  1. Ternyata gw kelewatan artikel ini sampai baca tulisa dragonohalim. Kalau di jaman dulu yang penyendiri (a.k.a. introvert) akan dicap sebagai penyihir, dan ketika mereka sendirian baca buku dianggap sedang melakukan sihir. Kalo jaman sekarang dibilangnya songong, ngambek, depresi, tergantung dari omongan si kembang desa atau jaka tarub

    Suka

    1. hahahaha serius? jadi ingat film vvitch itu yaaaa

      Suka

  2. Lei, suka banget sama tulisanmu ini.
    “Table for one”…that’s kind of my me time literally. Distance myself from the crowd is part of self-meditation. It gives me space to breathe and relax or to just listen to myself w/o being interfere by others.
    Looking forward for your next writing ya 😄

    Disukai oleh 1 orang

    1. Waa thank you so much for reading. And that’s we exactly how I feel about my me time, as you so eloquently put it 🙂

      Suka

  3. Terima kasih tulisannya mbak Lei, akhirnya ada temen juga :))

    Suka

    1. fistbump

      Suka

  4. Baca tulisan ini aku jadi inget: tidurku lebih nyenyak sehabis ketemu banyak orang dibandingkan dengan setelah olahraga berat. Bersosialisasi memang kadang bisa sangat melelahkan ya.

    Disukai oleh 1 orang

    1. For an introvert, it is very tiring, tapi Kalo buat yang ekstrover justru membuat lebih semangat. Tergantung kita kayak apa ya 😁

      Disukai oleh 1 orang

  5. Beberapa hal memang lebih menyenangkan dilakukan sendiri, tapi kalau bisa di lakukan barengan pasti bakal jauh lebih menyenangkan, soalnya happyness is really increasing when it shared.
    So I think it’ll be ultra fun if we could find someone to be alone togther :p

    Disukai oleh 1 orang

    1. beli bantal forever alone

      Suka

  6. Seperti kata Tulus di lagu Ruang Sendiri ya.
    Jangan sampai kita lupa rasanya sepi, karena toh nanti saat meninggal kita sendiri juga.

    Disukai oleh 1 orang

    1. Betul juga. Udah sendiri, gelap lagi (mendadak morbid).

      Suka

  7. Sekitar 92% film yang gue tonton di bioskop, nontonnya sendiri. Proud of doing this since teenage years.

    Disukai oleh 1 orang

    1. Akupun! Karena teman banyak di selatan sementara gue tinggal di Timur, akhirnya sering nonton sendiri sejak SMA, sambil berbekal bapau karena dulu 21 belum ada concession (ketahuan kan jadinya tua).

      Suka

  8. “Table for One” hal yang paling sering saya lakukan ketika masih single. sekarang sudah nikah, dan sulit mendapatkan momen kayak gini. sekarang lebih sering ngelamun di atas kendaraan. hahaha

    Disukai oleh 1 orang

    1. Memang sih, for married people (with kids), me time is a luxury ya. Apalagi di masyarakat yang komunal, yang seringnya kalau kita ingin sendiri dianggap lagi ngambek. Hihihi.

      Disukai oleh 1 orang

Tinggalkan komentar

About Me

I’m Jane, the creator and author behind this blog. I’m a minimalist and simple living enthusiast who has dedicated her life to living with less and finding joy in the simple things.