Karena yang Berjalan Sendiri, Membawa Keramaian di Dadanya *)

, , ,

Asasi manusia pertama kali adalah bertahan hidup. Menangis karena haus. Menangis karena lapar. Menangis karena takut. Lalu kita belajar hal lain.

Menghindar dari bahaya. Berlari dari kejaran hewan buas. Menggerakkan seluruh tubuh saat tenggelam. Juga menghindari ancaman. Juga menghindari rasa kurang nyaman. Juga melupakan ingatan. Terlebih kenangan mantan. Terkadang, saking hebatnya, kita terpaksa menyangkal atas sesuatu yang ndak sesuai keinginan. Lari dari kenyataan. Tapi memang inilah sesuatu yang ada sejak mula. Jika ini dapat membuat hidup kita lebih nyaman, tentram dan terus bertahan, maka ndak cuma pertahanan fisik, melainkan juga mempertahankan kesehatan akal dan pikiran. Secara otomatis ingatan akan hilang, atau lambat laun berganti versi menjadi sesuai keinginan.

Bertahan hidup dengan menciptakan fantasi sendiri. Maka bersyukurlah kita yang pandai menghibur diri.

Ini semua sudah cukup.

 

Cukup. Semua kelebihan manusia, semua prestasi orang lain, semua rejeki milik siapapun juga, akan menjadi biasa dengan kata  ini: “cukup”. Bapak ndak mau nambah toko? Cukup. Bapak ndak nambah anak? Cukup. Bapak ndak mau naik pangkat? Cukup. Ndak mau diteruskan hubungan kita? Cukup. Kita lama ngobrol via sosmed, apa ndak mau ketemuan? Cukup.

Seseorang berkata soal cukup suatu ketika: Cukup. Tak perlu bertatap muka. Aku tahu kamu ada. Yang penting ada. Ada kamu. Itu sudah cukup. Jikapun kita selamanya begini, aku pasrah. Tak perlu dilawan. Berdamai dengan keadaan. Pasrah. Menerima keadaan tanpa melawan. Waktunya untuk menjatuhkan diri di hamparan rumput ilalang. Matahari hangat bersinar menerpa. Toh akhirnya kita sama-sama pulang. 

Benarkah kita harus pasrah? Apakah tepat jika kita menaruh masa depan dan menyandarkannya pada kata nasib. Atau takdir.

Saat susah, ini kehendak Tuhan. Saat senang, karena usahanya sendiri. Pasrah dilakukan saat dalam posisi yang sulit. Bagaimana saat merayakan keunggulan, apakah juga ada kata “pasrah” melintas dalam benak kita? Mengapa takdir dekat dengan cobaan? Mengapa pasrah muncul saat terjepit?

Bagaimana kalau kita biasakan bicara takdir saat penuh rejeki? Bagaimana kalau kita bicara pasrah saat semua orang di bawah kendali kita?

Jika saja Mark Zuckerberg atau Elon Musk berkata: “Namanya juga takdir Tuhan…“, saat ditanya wartawan mengapa mereka bisa kreatif dan menelorkan banyak inovasi. Sayangnya kalimat tadi lebih banyak muncul saat seseorang sedang kesulitan atau kesusahan. Ketika Lionel Messi menerima penghargaan sebagai pemain terbaik dunia, akankah dia berkata dalam kata sambutannya: “Saya hanya pasrah saat main bola. Lawan-lawan saya saja yang kurang beruntung..“.

Asasi manusia pertama kali adalah bertahan hidup.

Dan hidup kita bukan mimpi. Keberanian sesungguhnya adalah menghadapi dan bergulat dengan kenyataan hidup sehari-hari. Ada perih. Ada duka. Ada nelangsa. Ada sepi. Tapi setidaknya terselip tawa, binar mata dan dada yang bergemuruh.

Asasi manusia pertama kali adalah bertahan hidup.

Bertahan menuju pulang.

 

Salam anget,

Roy

 

 

 

 

*) Judul dan Youtube diperoleh dari Ria Fahriani.

9 tanggapan untuk “Karena yang Berjalan Sendiri, Membawa Keramaian di Dadanya *)”

  1. Kenapa harus bertahan kalau bisa pulang lebih cepat?

    Suka

  2. […] Linimasa dengan sedikit […]

    Suka

  3. Om Roy! Seperti biasa, aku suka. Suka sekali. Boleh aku reblog?

    Suka

  4. ijin reblog om 😀

    Suka

  5. Makasih, Om
    *bengong ga tau harus bilang apa

    Suka

    1. aku makasih juga. atas obrolan paginya. 🙂

      Suka

Tinggalkan komentar

About Me

I’m Jane, the creator and author behind this blog. I’m a minimalist and simple living enthusiast who has dedicated her life to living with less and finding joy in the simple things.