“Hanya orang yang enggak bisa ngaceng, bisa berkelahi tanpa takut mati..”

Sampai saat ini saya termasuk jenis manusia yang sulit menghargai karya orang lain. Terlalu banyak alasan dan cela nyata-nyata yang bisa ditemukan untuk mengetahui mana karya yang layak dihormati dan mana karya picisan.

Kisah titit yang tak bisa berdiri milik Ajo Kawir, tokoh fiksi rekaan Eka Kurniawan adalah salah satu tokoh favorit dari sekian banyak buku yang saat ini saya baca secara paralel. Karya Eka ini patut mendapat apresiasi baik. Judul bukunya sederhana: Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas. Sebuah novel lokal dengan pilihan usia pembaca di atas 21 tahun. Judul tulisan kali ini pun adalah kalimat pembuka dari novel Eka ini.

Judulnya kali ini memberikan pencerahan bagi saya untuk bicara hal lain. Bahwa soal ngaceng adalah soal harapan dan selanjutnya soal harapan adalah soal hidup secara utuh.

Soal ndak bisa ngaceng apakah aib bagi seorang laki-laki? Lalu hidupnya blingsatan dan tak takut akan konsep kematian, karena semenjak burungnya layu, harapannya pun layu. Lalu dalam cerita Eka, Ajo Kawir, sang pemilik harapan layu, gemar bertaruh nyawa.

Banyak lelaki percaya bahwa satu-satunya jalan bahagia adalah memiliki besar ukuran burung. Celaka jika hanya rata-rata. lebih baik mati saja, jika tak dapat berdiri sama-sekali. Burung adalah soal harapan. Sama seperti yang ditawarkan banyak agama: harapan hidup lebih baik. Fana maupun kekal.

Kaitan dari soal ngaceng adalah seperti topik saya kemarin soal freakonomics. Tulisan minggu kemarin sempat saya nukil soal aborsi. Apa hubungannya?

Begini.

Bagi saya, perempuan muda atau tua, menikah atau belum, korban perkosaan atau korban keenakan, yang ndak siap memiliki anak, atau tidak mencintai pasangannya, berhak untuk terus memelihara harapan hidupnya dengan melakukan pengguguran kandungan secara disengaja. Bahkan jika ada petisi yang mengusulkan legalisasi aborsi, saya duga saya akan menjadi salah satu pendukung terbaik. Banyak alasan baik ilmiah, humanis, legal, psikologis, budaya yang menjadi latar belakang saya.

Tentu saja pilihan terbaik dan konsekuensi logis dari sebuah kandungan di dalam rahim adalah menuntaskannya hingga lahir. Namun banyak alasan lain yang menjadikan pasangan, bahkan lebih sering sendirian (dibaca, kaum perempuan), memilih untuk tak melanjutkan perkembangan janin. Langkah berani dan seharusnya ada kesempatan atas pilihan ini dalam iklim demokrasi kekinian. Bukan semata-mata benturannya adalah seolah-olah melegalkan seks pra-nikah dan memudahkan pasangan berbuat mesum, hingga memfasilitasi dan menggampangkan konsekuensi pembuahan atas masuknya kontol ke dalam memek. Karena seks- pra nikah maupun perbuatan mesum seharusnya bukan lagi menjadi urusan negara, melainkan menjadi urusan masing-masing individu. Suka-suka kontol milik siapa masuk ke memek milik siapa. Negara menjamin warga negara untuk berbuat apapun selama dapat dipertanggungjawabkan di depan hukum dan negara sudah seharusnya bicara soal kepentingan publik.

Pilihan seorang perempuan untuk menggugurkan kandungannya dan hak untuk melakukan aborsi adalah sama besar dan sama perbandingannya bagi perempuan lain untuk memutuskan meneruskan kandungannya hingga lahir. Bagi anak perempuan usia sekolah atau mahasiswi, dengan banyaknya harapan dan impian, layak diberikan kesempatan memilih. Apapun pilihannya, negara, melalui aturan, menyediakan jaminan hukum dapat dilaksanakannya hak bagi kaum perempuan.

Legalitas aborsi setingkat dengan legalitas melahirkan. Dua pilihan sejalan. Biaya melahirkan yang legal saja mahal, dapat anda bayangkan dengan biaya aborsi yang dilakukan diam-diam. Termasuk kepastian dan jaminan tidak adanya mal-praktek oleh petugas medis atau tukang urut abal-abal.

Suatu ketika, karena suatu pekerjaan, saya pernah mewawancarai seorang lelaki yang ketahuan mencuri uang kas perusahaan yang tersimpan di sebuah brankas, demi membiayai aborsi. Usia dia 19 tahun. Begitu juga usia kekasihnya. Menjual satu buah blackberry tak cukup biayai ongkos aborsi, maka segepok uang di brangkas menjadi jalan pintas. Pacarnya jadi aborsi, dan dia menunggu remisi di pojok dingin ruang tahanan.

Tentu saja isu ini begitu sensitif bagi masyarakat kita. Aborsi adalah tindakan atas janin. Janin adalah sebuah hasil dari pertemuan sperma dan telur. Pertemuan itu bisa dilakukan dalam pernikahan atau tidak. Di tahap inilah asal-muasal perselisihan. Soal zina dan soal cinta. Agama dan budaya. Soal norma dan iman. Normal dan asusila. Rumit atau jernih. Soal dosa dan neraka. Soal mencampuradukan masalah privat ke dalam ranah publik. Tapi paling penting: soal betapa kampungannya kita dalam bernegara.

Tulisan ini hanya pembuka. Daripada saya manyun saja di malam minggu. Apalagi saat nyaris-tanggal tua. Saya sangat berharap ada pemikiran tandingan atau dukungan; atau sekadar ketersediaan waktu membaca tulisan. Komentar Anda sangat saya harapkan.

Salam anget,

Roy

 

24 tanggapan untuk ““Hanya orang yang enggak bisa ngaceng, bisa berkelahi tanpa takut mati..””

  1. Kalo saya sih mikirnya gini : korban perkosaan ataupun korban keenakan itu bisa jadi belum bisa bertanggungjawab atas anak yang nanti dilahirkan. misal : belum ada pendanaan yang cukup, mental yang matang dalam mendidik anak, dan lain sebagainya. kita tau persis ngegedein anak itu ngga segampang ngegedein anu (yang utk beberapa orang udah susah sih buat gedeinnya).

    jadi sebenarnya lebih kepada pemikiran masa depan si janin yang dikandung tadi. daripada dipaksa dilahirkan tapi ujung2nya ngga keurus dan bahkan malah jadi sampah masyarakat (sorry to say, tapi coba liat di perempatan pancoran deh) dan merusak tatanan kehidupan “normal”, memang terkadang pilihan untuk meniadakan si janin menjadi pilihan paling logis dan rasional.

    terdengar kejam. tapi buat saya, si anak berhak lho dapet jaminan kehidupan layak, pendidikan, moral, dan lain sebagainya. daripada dilahirin hanya untuk dihancurkan.
    atau menghancurkan.

    sekian.
    ^__^

    Suka

    1. kurang lebihnya saya sepakat. dan saat ini proses itu belum diatur secara tegas dalam hukum kita. apa emang udah? selama ini pengguguran kandungan masih sembunyi-sembunyi. ilegal. mahal.

      Suka

  2. Menarik sekali, kalau boleh ikut berbagi, sebenarnya untuk kasus unwanted pregnancy (akibat perkosaan salah satunya) sudah ada aturan dalam medis, mereka bisa diberi “morning pil” untuk pencegahan kehamilan dengan aturan tidak melewati 27 hours pasca hub seksual tadi,
    Hanya saja kurangnya edukasi, sehingga muncul lah rasa takut ketahuan, malu, dsb untuk melaporkan minimal ke tenaga medis, supaya tahu langkah terbaik di awal, alih-alih malah keburu telat,
    pendidikan seksual yg sesuai dan benar lah yg seharusnya mulai dilakukan 🙂

    Suka

    1. Typo 72 hours (ngantuk abis jaga)

      Suka

      1. terima kasih atas pencerahannya, Tata. 🙂

        Suka

        1. Terus menulis ya om roy, semua~ yang bagus 🙂

          Suka

  3. Kontol banget ih…

    Suka

  4. Kalo aku sih gini :

    Mungkin masih banyak org di luar sana yg masih berpikir soal hubungan sebab akibat antara bola api yg meluluhlantahken kaum sodom terjadi karena tdk adanya pengingkaran dari pemimpin pemimpin mereka.

    negara kita sudah benar soal ikut campur mereka dlm kehidupan warganya yg kita kenal sbg kompilasi hukum islam karena alasan mayoritas warga kita muslim.

    Negara gak ikut campur soal kita sholat apa kagak puasa apa kagak karena ini mmg privat banget. Lain ceritanya kalo soal nikah juga aborsi yg pengaruhnya justru merusak generasi kita.

    Yg penting negara sudah melarang, soal penerapannya silahkan lakukan dgn situasi masing2. Tentu saja konsekuensi di tanggung sendiri.

    Suka

    1. emang ini negara islam ya mas?

      Suka

      1. Mmg bukan negara islam sih. Lagian pernyataan aku gak njurus ke sonoh. Maksutnya hal hal mendasar aja yg masih sewajarnya dan gak bener bener islam amat.

        Suka

        1. seharusnya ya kalau negara ukurannya bukan wajar ndak wajar, tapi secara tegas diatur dalam ketentuan perundang-undangan. dan karena ini negara demokrasi, sudah selayaknya negara bukan bagian dari perwujudan nilai-nilai agama yang dianut mayoritas, melainkan mewakili nilai-nilai negara itu sendiri di atas nilai-nilai agama apapun yang dianut warganya. pancasila, bukan panca-agama. 🙂

          Suka

          1. Justru karna demokrasilah alasan knpa mayoritas menang 😄
            Tp aku setuju sih klo islamisasi dlm ketatanegaraan hnya menciptakan masyarakat yg ketinggalan zaman dan negara cenderung mengalami kemunduran. Bukan meragukan firmanNya tp ini saya ngebayangin klo negara ini di kuasai oleh org2 fanatis seperti fpi dan sejenisnya.. Tp kita juga semestinya syedih klo ndak ada kontrol sama sekali dari negara perihal hal hal mendasar dr agama dlm kehidupan sosial kita.

            Aku paham negara negara barat sonoh bener2 misahin antara agama dan negara dan menurutku yg bagus dr mereka mungkin ttg kebebasan berekpresi dan berpendapat. Tp mereka payah soal moral. Liat aja naked beach, industri felem porno dilegalin, peredaran miras ndak dikendaliin, bisa di bayangin gmna reaksi masyarakat kita yg pro dan kontra nntinya klo ini diterapin di indonesia dimana hal tsb legal dan yg kontra ndak bisa berbuat apa2 karena dilindungi UU sedangkan itu berbenturan keras dgn adat budaya bangsa kita. Ta’ kasih garansi mas bakalan bnyak yg ngikutin aksi amrozi dan imam samudra cs. 😅

            Pokoknya soal nilai nilai keagaamaan negara ndak boleh lepas tangan sepenuhnya. Saya percaya semua agama ndak ada yg mengajarkan hal buruk. Juga salah satu alasan negara barat menutup pintu dari campur tangan agama mayoritas disana.

            Jadi maksutnya aku tuh negara harus ttap ngdikte kita dlm hal yg mendasar utk menciptakan kesan baik di mata khalayak ramai. wkwkwk

            Suka

            1. Oleh karena itu, setiap warga negara memeroleh hak yang sama dan tak menutup hak. Aborsi bukan versus islam. Aborsi juga bukan versus vatikan. Proses pengguguran kandungan sebaiknya dilihat dari sisi medis. Misalkan, kandungan yg dapat membahayakan ibu. Ini mendapat tempat selayaknya. Lalu bagi hubungan di luar nikah? Bisa dibicarakan lebih lanjut. Namun paling utama, kegiatan abortus adalah tindakan medis yang dilegalkan. Daripada diam-diam setiap hari banyak perempuan muda yang merelakan nyawanya di hadapan dukun bayi, minum jamu, lalu meluruhkan diri. Rentan malpraktek.

              Dan mahal.
              🙂

              Suka

              1. Setuju.

                mamaku dulu kena kanker rahim. Dan dianya milih tetep lanjutin sampai tuntas walopun saat itu beliau sdh tahu bahkan sebelum mengandung. bayinya selamat tp ibunya enggak. sedih mas. Jd menurut aku klo mmg ndak ada kendala medis yg mmbahayakan si ibu harusnya sih wajib dilanjutin.

                Suka

                1. terima kasih Mas sudah berikan pencerahan. 🙂 Semoga Mama selalu di hati Mas Angga

                  Suka

  5. mau dibikin film om buku eka yang ini..

    Suka

    1. wah, bakalan lucu nih.

      Suka

  6. Kenapa usia 6 bulan? Menurut saya kalau seorang ibu berniat mengaborsi, berapapun usia janinnya menurut saya menjadi tidak berpengaruh. Contohnya: korban pelecehan seksual berusaha menutupi sampai (sialnya) terlalu besar di usia 6 bulan. Apakah masih akan dipertahankan?

    Suka

    1. maksudnya? setiap kebijakan rentan dengan penyalahgunaan. jika hendak ditambah variabel lain misal akubat pelecehan seksual hingga kandungan 9 bulan pun boleh aborsi ya silakan. Kalau saya beranggapan bukan soal usia janin, melainkan risiko yang dihadapi si ibu.

      Suka

  7. Langkah awal, hemat saya, tentu adalah penentuan: “berapa batas usia yg manusiawi untuk sebuah janin digugurkan, agar tidak bisa disebut sebagai sebuah pembunuhan?”

    Barangkali begitu.

    Suka

    1. Setuju, saya pikir janin dengan usia sama dengan atau diatas enam bulan sudah layak diteruskan saja hingga lahir

      Suka

Tinggalkan Balasan ke Tata Batalkan balasan

About Me

I’m Jane, the creator and author behind this blog. I’m a minimalist and simple living enthusiast who has dedicated her life to living with less and finding joy in the simple things.