Menjelang akhir tahun, saya selalu dipenuhi dengan banyak acara. Mulai dari peluncuran produk teman dan klien, restoran baru buka, acara-acara tahunan yang sudah semacam tradisi. Tentunya sebisa mungkin tak hanya meramaikan di dunia nyata, saya pun membantu meramaikannya di dunia maya. Yah itung-itung bantuin temen promosi. Atau karena saya memang suka dengan produknya.
Kecerewetan saya di dunia maya, mau tidak mau mengundang komentar. Ada yang berupa komentar biasa tapi banyak juga yang merupakan pertanyaan. Klarifikasi atas informasi yang saya sampaikan. Belajar dari pengalaman tahun-tahun sebelumnya, saya pun membuat aturan sendiri mengenai postingan di socmed. Sebisa mungkin semua informasi tertera jelas. Misalnya:
- Tag lokasi saja tidak cukup. Akan ada yang tetap bertanya “di mana nih?”
- Kalau restoran, sertakan juga nomor telepon restoran itu. Sebelum ada yang tanya “kalau mau pesen ke mana nih?”
- Cantumkan harga bila memungkinkan.
Tapi rupanya, ini pun masih kurang. Sering saya mendapatkan pertanyaan atau komentar yang suka membuat saya bingung. Apakah informasi yang saya berikan kurang jelas? Atau memang saya kurang bakat jadi salesman di dunia maya. Berikut contohnya:
Saat saya memposting sebuah produk baru ini:
Ada yang bertanya “Fiesta Seafood ya?” Saya melihat kembali foto yang saya unggah. Jangan-jangan memang fotonya kurang jelas.
Atau saat saya memposting sebuah restoran baru ini.
Lokasinya saya tuliskan dengan jelas “Bellagio Residence, Mega Kuningan” disamping tag location. Ketika ada yang bertanya “Di Oakwood?” yang memang lokasinya berada di seberangnya. Tapi Bellagio bukanlah Oakwood.
Atau saat saya menginformasikan tote bag yang saya titipkan di booth Bazaar WIC di Kedutaan Besar Singapura. Semua info saya sampaikan sejelas-jelasnya.
Bisa ada yang bertanya “Kedutaan mana nih?“ Tentunya membuat saya panik dan membaca ulang apakah tulisan saya kurang lengkap.
Minggu kemarin, saya beberapa kali menghadiri Jakarta Fashion Week 2016 yang digelar di Senayan City. Jarang-jarang selfie, tapi kali ini saya iseng memposting foto diri sambil mengenakan tutup kepala yang biasa diberikan kalau kita naik Gojek.
Dengan tulisan “my fashion statement 2016”. Saya kira tadinya tidak akan ada yang berkomentar. Paling-paling dikasih icon ketawa. Namanya juga becandaan. Tapi semua buyar ketika ada yang berkomentar “itu tutup kepala abis naik Gojek lupa dilepas Maaas….”. Aku pikir dia ikut bercanda. Saya balas “sengaja koook, iseng.” Eh dibalas lagi “kenapa? jelek ah!”
Irsa dan Robert dari Shadow Puppet Quartet baru saja meluncurkan album baru bersama Harvey Malaihollo. Saya diminta untuk mendisain cover CDnya. Tentunya tawaran itu saya terima. Kebayang pasti bagus kualitas albumnya. Harvey gitu loh! Dan ketika sudah diluncurkan, tentunya saya ikut mempromosikannya di media sosial.
Semua informasi bahkan video saat peluncuran pun saya posting. Semua berjalan mulus. Sampai ada yang bertanya “itu Harvey Malaihollo yang penyanyi ya?”. Dalam hati saya menjawab “bukan penyanyi, penari!” Mungkin memang yang bertanya dari generasi yang berbeda. Tapi dicek lagi, enggak kok! Teman SMP hehehe.
Pertanyaan dan komentar tentunya selalu saya coba jawab. Kalau menurut saya pertanyaannya sebenarnya sudah ada jawabannya, saya tunda untuk menjawab sampai saya punya waktu luang. Kalau pertanyaannya berguna untuk yang lain, langsung saya jawab.
Tadinya saya berpikir sayalah satu-satunya di dunia yang merasa kebingungan dan mempertanyakan kemampuan diri untuk menginformasikan. Sampai suatu siang saya berkumpul dengan beberapa teman yang biasa berjualan online. Tumpah ruah lah segala curhat tentang hal yang sama.
Seorang teman baru meluncurkan koleksi baju yang semuanya berwarna putih yang disebut “White Collection”. Ada yang bertanya “kok putih semua?” Seorang teman lagi yang menjual sepatu di Instagram. Tertulis di nama akun IG-nya ****SHOES. Ada yang bertanya “kok cuma jual sepatu?” Atau teman yang punya restoran sudah mencantumkan di bio “no reservation, first come first serve” bisa ada yang bertanya “kalau mau reservasi, hubungi ke mana ya?”
Pada mulanya saya menganggap ini adalah hal yang biasa saja. Tapi karena kejadiannya semakin sering dan tak kunjung membaik, sepertinya harus ada yang mulai mempelajarinya sebagai tanda-tanda zaman. Sebenarnya bukan di era digital saja, tapi dari dulu. Bukankah nenek moyang pernah berkata “pikir dahulu pendapatan, sesal kemudian tak berguna”. Hm… anak millenials ngerti ndak ya? Yang intinya berarti “keep calm and think before you talk”. Ya kalau didigitalisasi jadinya “keep calm and think before you comment.”
Benarkah era digital ini membuat kita lebih malas untuk membaca apalagi mencerna? Hasrat untuk berkomentar lebih besar daripada hasrat untuk mendapatkan informasi. Atau berkomentar terlebih dahulu menjadi sangat penting. Inget “PERTAMAX”?
Salah? Tentu tidak. Semua punya hak untuk berkomentar dan bertanya. Tapi kenapa justru di forum terbuka yang sering saya hadiri seperti seminar atau kelas yang ruang untuk bertanya dan mengkritisi terbuka lebar, susahnya minta ampun. Lucunya sesudah acara selesai, pembicara pun dikerubungi untuk dihujani pertanyaan. Ada juga yang kemudian bertanya ke Pembicara via media sosial macam Twitter.
Apakah memang kita lebih nyaman untuk bertanya dan mempertanyakan di ruang-ruang tertutup dan intim saja? Sepertinya ini menjadi bahan menarik untuk dipelajari.
CATATAN: contoh di atas ada yang pleketiplek ada yang rekaan. yang rekaan pun sebenarnya dari kisah nyata tapi kasusnya saja yang berbeda. ada yang saya alami sendiri, ada yang dialami oleh orang yang saya kenal.
Tinggalkan komentar