Ngerepotin Orang

โ€”

SETIAP dari Anda pasti pernah berada dalam situasi seperti ini; ketika ada seseorang, entah teman, kenalan, saudara, sanak keluarga, tetangga, rekan kantor maupun kolega, atasan, guru dan dosen, atau siapa saja, datang untuk meminta bantuan. Hanya saja, terlepas dari pembawaan kita yang (barangkali) ringan tangan dan punya empati tinggi, bantuan yang mereka minta itu malesin sekaligus ngerepotin dan enggak penting-penting amat secara bersamaan. Kalau diminta, bikin males, tapi kalau enggak dilakukan, takutnya malah jadi drama dan bikin enggak enak suasana. Berpotensi mengganggu hubungan sosial. Jadi mau tidak mau, permintaan itu pun diiyakan.

Tidak mustahil, banyak dari kita yang kerap mengiyakan permintaan bantuan orang lain, tapi ngedumel dalam hati. Dengan begitu, bantuan tidak diberikan dengan mulus. Permintaan tersebut malah membuka kesempatan untuk mengomel, mengeluarkan energi negatif yang meletihkan. Juga menyita waktu serta tenaga, yang justru sebenarnya bisa dimanfaatkan untuk sesuatu yang lebih penting dan berguna. Termasuk mengajari yang bersangkutan cara melakukan sesuatu yang ia minta sebelumnya, ketimbang terus menerus mengaku enggak bisa, agar ke depannya tidak perlu merengek minta bantuan ke orang lain. Di mana-mana, lebih baik memberi kail daripada sekadar menyedekahkan ikan, kan?

Mengenai hal ini, mending tidak perlu dikasi contoh ya. Soalnya, setiap orang pasti punya batas toleransi kelebayan masing-masing. Namun pada intinya, begitulah. Kita pasti bisa membedakan, mana permintaan bantuan yang benar-benar karena tidak bisa dilakukan oleh yang bersangkutan, dan mana yang memberi kesan kalau si empunya permintaan cuma malas belajar untuk melakukannya sendiri.

Di sisi lain, mungkin tanpa disadari, kita juga pernah berada di posisi sebaliknya; justru menjadi yang ngerepotin orang lain, dan malas melakukan sesuatu. Masih mending kalau dilakukan tanpa sadar, ketimbang memang sengaja punya sikap seperti itu dalam kehidupan sehari-hari. Jadi, jangan heran kalau banyak teman atau kenalan, yang sering banget menolak permintaan kita. Terkesan tidak mau membantu. Padahal, ternyata memang karena permintaan kita malesin orang lain.

Terus, kudu piye?

Sebenarnya, tidak ada ketentuan etis untuk menghadapi kondisi seperti ini. Baik si peminta bantuan, dan si penerima permintaan, sudah punya kemampuan menimbang dan memikirkan tindakan masing-masing. Kemampuan itu tumbuh seiring pertambahan usia dan tingkat kedewasaan. Cuma, bagaimanapun juga, kita tidak bisa mengabaikan realitas bahwa setiap orang pasti memiliki kesibukan hidupnya masing-masing. Jadi, mari bertanya kepada diri sendiri. Sebegitu pentingkah permintaan kita, atau sebegitu tidak-mampunya-kah kita sampai-sampai harus dilimpahkan ke orang lain? Kecuali bila Anda adalah orang yang cuek bebek atau sok bergengsi tinggi, pasti akan memerlukan sejumlah waktu untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut.

Kita memang makhluk sosial. Sampai kapanpun, tidak akan pernah bisa lepas dari interaksi dan kontak dengan sesama. Akan tetapi, di luar dari hubungan darah, terlebih antara orang tua dan anak, bersikap individualistis merupakan pilihan hidup dan hak setiap orang. Dengan konsekuensi logis, sikap individualistis juga harus dibarengi dengan kemandirian. Seseorang yang sudah memutuskan untuk jadi individualis, tidak hanya mampu dengan mudah menolak permintaan orang lain, namun juga berusaha harus mampu menangani sendiri masalah-masalah yang mereka hadapi. Supaya tidak perlu datang meminta bantuan kepada orang lain. Imbang, kan? Walaupun ini di luar urusan duit dan harta. Sebab, individualisme itu lumayan berbeda dengan pelitisme alias meditisme bin kikirisme.

Lalu, bagaimana bila kita merasa belum sanggup jadi seseorang yang individualistis, atau juga tidak tega untuk menjawab dengan kata “tidak mau”? Nah, tetap tidak ada salahnya kok jadi seseorang yang memiliki kemampuan terbatas, dan akhirnya terpaksa mendatangi orang lain untuk minta bantuan. Namun alangkah baiknya jika kita bijak bersikap.

  • Kalau kita sudah pernah merasakan tidak nyamannya direpotkan orang lain, apa masih tega buta tuli ngerepotin orang lain?
  • Jangan sekali-kali pakai hal-hal abstrak sebagai pembenaran. Seperti pahala, karma baik, dan sebagainya. Ingat, Anda manusia biasa, bukan malaikat Raqib atau โ€˜Atid.
  • Kalaupun terpaksa harus minta bantuan orang lain, jangan lupa bahwa kita adalah peminta bantuan, bukan majikan. Apalagi untuk bantuan-bantuan yang tidak berbanderol. Bedakan antara hubungan profesional yang terukur, dan yang atas dasar kekeluargaan serta persaudaraan. Tidak ketinggalan, seberapa gawat daruratkah bantuan yang Anda perlukan? Jangan berlebihan.
  • Alih-alih minta bantuan bulat-bulat, kenapa tidak minta bantuan untuk diajari? Setidaknya bisa menyisakan bekal untuk menghadapi masalah yang sama di masa depan. Hitung-hitung meningkatkan kemampuan. Di sisi lain, si pemberi bantuan juga bisa sedikit merasa berguna, lantaran sudah membuat orang lain yang tadinya tidak bisa, menjadi bisa. Mutual.
  • Masih perlu diajari cara mengucapkan terima kasih?
  • Bukan sebuah keharusan, tapi cara terbaik untuk membalas kebaikan orang lain adalah dengan kebaikan juga. Jangan cuma baik saat ada perlunya saja.
  • Khusus untuk kamu yang dimintai bantuan, jangan sungkan untuk membantu lebih jauh. Caranya, arahkan mereka, yang memerlukan bantuan, agar belajar. Minimal mendapatkan wawasan baru terutama mengenal masalah yang tengah mereka hadapi. Sejahat-jahatnya menolak membantu orang lain, lebih jahat lagi membiarkan orang lain bertahan dalam ketidaktahuan, ketidakmampuan, dan kemalasan.

Ceritanya sih begitu. ๐Ÿ™‚

[]

4 tanggapan untuk โ€œNgerepotin Orangโ€

  1. lebih males yang berdalih “minjem duit” tapi udahnya lempeng seolah-olah emang ga niat balikin. huh *curcol

    Suka

  2. Hadir, Mr. YesMan.
    Lagi belajar ngomong NO gon ๐Ÿ˜†๐Ÿ˜†

    Suka

  3. yang paling malesin udah dikasih tahu dan diajarin baik-baik, tapi tetep ‘batu’.

    gimana caranya biar orang bisa terus mau belajar tanpa ngerasa terpaksa?

    beberapa orang, sayangnya, emang suka malas… nganggep belajar cuma di sekolah doang.

    Suka

    1. Nah, itu susah tuh. Karena masing-masing orang punya perangai khas. Kalau yg punya jiwa penyabar, pasti akan mengayomi (tsaelaaah) ๐Ÿ˜€

      Suka

Tinggalkan komentar

โ— About Me

Iโ€™m Jane, the creator and author behind this blog. Iโ€™m a minimalist and simple living enthusiast who has dedicated her life to living with less and finding joy in the simple things.