Tentang Jilbab

Henrietta Edwards' 165th Birthday

Tadi pagi saya kaget melihat Google Doodle ini. Rupanya hari ini Henrietta Edwards berulang tahun yang ke-165. Beliau ini salah satu tokoh utama perjuangan hak-hak perempuan di Amerika Utara, khususnya Canada.


Ngomong-ngomong soal perempuan, saya jadi ingat, beberapa hari lalu saya menonton film asing yang premisnya begitu menarik dan menggelitik. Judulnya The Source (La Source Des Femmes).
Mengambil tempat di wilayah utara Afrika, ada sebuah desa kecil yang daerahnya begitu tandus dan berbatu-batu. Karena mereka masih hidup dalam budaya Muslim yang begitu kental, maka para perempuan di desa ini diwajibkan untuk mengurus rumah. Mulai dari memasak, mengurus anak, sampai ke mengambil air bersih yang jaraknya berkilo-kilo meter dari desa.

La-source-des-femmes-poster
Karena jalannya begitu terjal dan menanjak, tak jarang para perempuan ini jatuh hingga menyebabkan keguguran. Ke mana para pria desa ini? Ada, tapi setiap hari mereka hanya sibuk minum teh dan ngobrol-ngobrol. Dan akhirnya, karena muak melihat para pria yang begitu malas dan mengatasnamakan agama, para perempuan di desa ini pun punya ide brilian. Mereka sepakat untuk melakukan mogok massal. Mogok untuk bersetubuh dengan para suami, sampai mereka mau membantu para istri membangun saluran air ke desanya.

Tentu saja jalan untuk meyakinkan para suami ini tidak mudah. Ada satu adegan yang dialognya sangat membekas di kepala. Waktu itu ada seorang anak laki-laki yang begitu soleh, beliau memengaruhi pria-pria lain di desa itu agar semua perempuan mengenakan jilbab. Sang ibu yang sudah paruh baya pun sontak marah dan berkata kalau pada awalnya anjuran berjilbab itu untuk membedakan perempuan terhormat dan perempuan budak, tapi karena saat ini sudah tidak ada perbudakan, ya ngapain pake jilbab?

Argumen sang ibu ini benar. Mungkin ada yang belum tau, tapi budaya berjilbab untuk perempuan memang bukan budaya bawaan Islam.


Dulu, sekitar abad 13 BC, jilbab hanya boleh digunakan para perempuan ningrat di Assyiria. Perempuan kebanyakan dan para pekerja seks dilarang mengenakan jilbab. Begitu juga halnya di masa Mesopotamia, Iberian Peninsula, juga Yunani dan Romawi Kuno. Para perempuan di jaman itu digambarkan mengenakan pakaian serupa jilbab yang menutupi bagian kepala dan wajah. Pada waktu itu jilbab menunjukkan status dan strata sosial, gak semua orang bisa punya privilege untuk menutupi wajah dan kepalanya.

Digambar oleh: Malcolm Evans
Digambar oleh: Malcolm Evans

Menurut Leila Ahmed, seorang pakar Islam kontemporer dari Mesir, anjuran untuk berjilbab bagi perempuan Muslim justru datangnya bukan dari Muhammad SAW. Pada masa itu, jilbab sudah banyak digunakan oleh perempuan Palestina dan Syria. Kemudian karena mereka hidup berpindah-pindah dan berdagang, maka budaya mengenakan jilbab inipun semakin meluas.

Dan anjuran untuk mengenakan Jilbab untuk istri-istri Muhammad SAW (QS 33:33) pun jadi kewajiban moral karena kedudukan sosial mereka yang berbeda dari perempuan lainnya di masa itu. Para ahli sejarah berpendapat kalau, di era Muhammad, jilbab digunakan untuk membedakan perempuan Muslim dari perempuan Pagan dan budak.

Perlukah berjilbab? Jilbab yang benar itu bagaimana? Kenapa jilbab jadi sebuah keharusan padahal jaman perbudakan sudah gak ada lagi? Kalau urusannya sudah menyangkut fiqh dan yurisprudensi Islam, saya nyerah. Gak berani jawab. Saya cuma berani menjawab dari pendekatan sejarah dan budaya saja. Tapi, ada tulisan menarik tentang ini. Ditulis oleh KH. Husein Muhammad, seorang ulama yang juga feminis.

Tentu saja, kalau soal jilbab, jawaban setiap orang pasti berbeda.
Ada yang memutuskan untuk langsung berjilbab karena kewajiban, ada yang bilang mau menjilbabkan hatinya dulu. Ada yang hanya menutup kepala dan membiarkan leher terbuka (seperti yang dilakukan nenek saya dan nenek-nenek lainnya), ada jilboobs, ada juga yang berjilbab syar’i. Bebas. Pilihan masing-masing.
Tapi yang jadi masalah adalah ketika sekelompok perempuan yang sudah mengenakan jilbab sesuai syariat yang mereka percayai, malah merendahkan perempuan lain yang tidak seperti mereka. Atau sebaliknya. Ya ndak?

14 respons untuk ‘Tentang Jilbab

  1. “Karena mereka masih hidup dalam budaya Muslim yang begitu kental, maka para perempuan di desa ini diwajibkan untuk mengurus rumah. Mulai dari memasak, mengurus anak, sampai ke mengambil air bersih yang jaraknya berkilo-kilo meter dari desa.”

    Karena budaya Muslim sehingga perempuan yg harus jalan berkilo2 mengambil air? Banyak di pedalaman Indonesia yg masyarakatnya bukan muslim atau bahkan tidak mengenal agama, para Ibu harus berjalan berkilo2 meter untuk mengambil air.

    Jadi penasaran pengen nonton filmnya. Apakah filmnya yg memang menyuratkan bahwa Islam yg membuat perempuan di desa itu yg harus “mencari air” sendiri tanpa dibantu suaminya?

    Suka

  2. Ping-balik: Jilbab Fa – gitu.in
  3. Oya sedikit tambahan. Perintah berhijab (menutup aurat) diperintahkan disemua kitab suci agama turunan nabi ibrahim. Termaauk taurat, injil dan alquran. Silahkan dicek dan semoga memperdalam ilmu anda 🙂

    Suka

  4. Tulisan yang menarik. Argumen yang percis sama selalu saya lontarkan kepada teman dan saudara 5 tahun lalu. Dan bisa dibilangsaya bukanlah orang yang religius dan tertarik dengan agama saya.
    Btw sudah satu tahun ini saya berjilbab dan semua atas kesadaran saya pribadi. Kenapa pada akhirnya saya berhijab?
    Simpel. Sejak dulu saya selalu punya ketertarikan yg besar pada ilmu pengetahuan dan sejarah. Dengan berjalannya waktu ilmu saya bertambah. Tanpa saya inginkan, semua ilmu yang saya dapat ternyata bersinggungan dengan kitab suci. Disaat itu saya menangis dan menyadari semua yang tertulis dikitab suci benar adanya. Dan saya ingin dekat dengan Tuhan. Sekarang ucapan saya 5 tahun lalu berubah 180derajat dan berharap akan lebih banyak orang yang menyadari. Tapi seperti tulisan dan pendapat mas sebelumnya, semua memang pilihan kita sebagai manusia. Mau kearah yang baik dan mendapatkan ketenangan, atau melalukan semua sesuka2 kita dan mengambang2 dalam ketidakpastian dan kebingungan. Dan itu memang sudah diserahkan oleh Tuhan yg maha kuasa kepada kita umat manusia.

    Suka

  5. Saya berjilbab dan nggak pernah merasa yang nggak berjilbab lebih buruk dan vice versa.
    Jilbab memang awalnya kebudayaan tapi setelah Al Quran turun dan ada perintah mwngulurkan kain ke kepala dan dada, maka itu jadi kewajiban bagi setiap wanita muslim

    Suka

  6. Hidup ini banyak pilihan, mau milih berjilbab atau ndak, atau mau ndak pake baju semuanya boleh…yg penting tidak saling merendahkan toh semuanya akan menerima akibatnya masing2….

    Suka

  7. (Al-‘Aĥzāb):59 – Hai Nabi, katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan isteri-isteri orang mukmin: “Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka”. Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak di ganggu. Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.

    saya seorang perempuan yang juga tidak berhijab.
    Tertarik dengan pembahasan ini. Namun saya percaya dengan apapun yang diperintahkan Al-quran.Bagaimana menurut perempuan2 lain dengan ayat ini.

    Suka

  8. Lalu tiba-tiba para perempuan yang sudah berjilbab merasa lebih eksklusif dan berpikir kalau mereka lebih suci daripada yang belum berjilbab, dari pada saya yang lebih memilih apa adanya tanpa perlu berjilbab.

    saya suka tulisan ini, merengkum pertanyaan dan curhatan saya

    Disukai oleh 1 orang

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Gambar Twitter

You are commenting using your Twitter account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s