Ia memasuki rumahnya. Dilihatnya secarik undangan yang disisipkan di bawah pintu. Kaget. Entah dari mana si pengirim tau alamat ini. Ia lalu menutup pintu. Diputarnya anak kunci dua kali ke arah kanan. Ditariknya gagang pintu, lalu ditekan. Dua kali, biar pasti terkunci.
Dilemparkannya tasnya ke atas sofa. Ia Berjalan ke arah meja makan sambil kedua tangannya membuka kaitan beha di punggungnya. Hanya perempuan sejati yang bisa melepas beha tanpa perlu menanggalkan baju terlebih dahulu. Dan ia salah satunya. Disampirkannya behanya di atas kursi kayu berwarna putih. Diletakannya undangan merah jambu dengan kembang-kembang itu di atas meja. Dilihatnya lagi. Ia lalu menyalakan CD player yang umurnya lebih dari sepuluh tahun itu. Ah, Joni Mitchell. Diambilnya handuk di pojok kamar, ditanggalkannya bajunya.
Kaca-kaca kamar mandi kemudian diselimuti uap air panas. Dan mungkin juga resah.
“Bows and flows of angel hair and ice cream castles in the air
and feather canyons everywhere, I’ve looked at clouds that way.
But now they only block the sun, they rain and snow on everyone.
So many things I would have done but clouds got in my way.”
Namanya Laksmi. Tanpa huruf H di antara S dan M. Setidaknya begitu katanya. Tidak ada yang tau nama belakangnya. Umurnya mungkin 55, atau mungkin 52. Tidak pasti. Ia jarang ngobrol dengan tetangga. Paling hanya sekali-sekali kalau ada yang meninggal atau menikah. Itupun hanya basa-basi kanan-kiri.
Laksmi artinya cantik. Dan memang, masih terlihat jelas jejak-jejak kecantikannya ketika muda. Kulitnya yang coklat itupun masih begitu terawat. Orang tuanya dari Sulawesi, katanya. Itu saja. Ia tidak pernah mau bercerita lebih jauh. Tapi keriput-keriput di wajahnya seolah bisa mewakili. Garis-garis halus di sudut matanya itu bisa saja saksi ketika ia terpuruk. Dan mungkin sepasang garis di antara bibir dan hidungnya adalah tanda kalau ia pernah bisa bebas tertawa sampai terpingkal-pingkal. Juga uban yang ia biarkan tumbuh menghiasi rambutnya; mungkin setiap helainya menyimpan cerita.
Sudah lebih dari 20 tahun Laksmi hidup sendiri. Tak ingat pastinya kapan. Dulu ia sempat menikah dan berumah tangga. Biasalah orang kampung, dijodohkan dengan sepupu tiga kali dari pihak ayahnya. Tapi pernikahannya tak bertahan lama. Hanya sempat punya satu anak. Setelah itu ia tak sanggup. Kalau dasarnya sudah ndak cinta, mau bagaimana lagi. Daripada dipaksa jadi orang yang bukan dirinya dan dicintai orang yang salah, Laksmi memilih pergi. Tekadnya sudah mantap. Ia harus mengejar kebahagiaan dan cinta apapun resikonya. Termasuk meninggalkan keluarganya dalam kesedihan dan patah hati.
“Moons and Junes and ferris wheels, the dizzy dancing way that you feel
as every fairy tale comes real; I’ve looked at love that way.
But now it’s just another show. You leave ’em laughing when you go
and if you care, don’t let them know, don’t give yourself away”
Ia berjingkat keluar kamar mandi, berjalan ke arah lemari baju. Rambutnya yang basah dililit handuk. Titik-titik air dari tubuhnya jatuh meninggalkan jejak di lantai. Diambilnya sepotong daster abu abu yang bagian kantongnya sudah sobek, juga celana dalam yang lebar hampir menutup pusar. Ini rumahnya. Di sini ia jadi perempuan merdeka, bebas tanpa tekanan kutang berkawat dan himpitan g-string renda-renda.
Dikeringkannya rambutnya dengan handuk. Matanya kembali tertuju pada undangan di atas meja. Ia lalu duduk. Diambilnya lagi undangan tadi. Dipandanginya, juga sepasang nama yang tertera di atasnya. Diletakkannya lagi. Pandangannya masih juga tidak lepas. Laksmi lalu menyulut rokoknya. Diambilnya alas dari cangkir kopinya tadi pagi untuk menampung abu. Matanya memejam, dihisapnya rokoknya dalam-dalam. Seolah segala persoalan ikut terhirup dan terembuskan kembali bersama asap, lalu akhirnya sirna.
“Tears and fears and feeling proud, to say “I love you” right out loud,
dreams and schemes and circus crowds, I’ve looked at life that way.
But now old friends are acting strange, they shake their heads, they say
I’ve changed.
Something’s lost but something’s gained in living every day.”
Siang itu terik sekali. Jalan tampak lengang. Taksi membawanya menuju pusat kota. Laksmi sudah berdandan pol-polan. Kebaya Melayu dan songket warna marun berpadu emas. Persis ibu pejabat.
Ia melangkah keluar taksi. Jantungnya hari ini bergedup ekstra cepat. Lebih cepat dari langkahnya yang pelan-pelan menuju pintu masuk sebuah masjid. Masih dua puluh meter lagi. Ia berhenti sesaat. Takut. Mungkin juga ragu. Ternyata ia tak cukup berani, nyalinya tak sebesar perkiraannya. Laksmi gagal untuk tidak memikirkan apa kata orang-orang di dalam nanti.
Tapi janji adalah janji, harus ditepati tak peduli sudah berapa lama. Ia pun berjalan masuk. Tebakannya tak salah. Semua pandangan langsung tertuju padanya. Untung saja ijab qabul belum dimulai. Ada wajah-wajah yang dikenal, ada yang tersenyum, tapi ada juga berbisik-bisik. Keringat dingin jatuh di keningnya. Lima menit lagi begini, ia bisa pingsan. Terjun bebas menghantam lantai.
Laksmi lalu menghentikan langkahnya. Dilihatnya sang pengantin pria tengah berbincang-bincang dengan penghulu. Lelaki itu pun menoleh ke arahnya. Senyumnya seketika merekah. Ada embun yang mengembang di sudut mata. Ia lalu menghambur lari menghampiri Laksmi. Diciuminya tangannya berkali-kali, dipeluknya erat-erat, tidak mau lepas. Bahu Laksmi basah.
“Ayah.. terima kasih.”
Reminds me of Chandler Bing walked through the aisle in his wedding day.. (friends seasin 8 kali ya)
SukaSuka
keren abiss ceritanya!!
SukaSuka
Pagi-pagi dibuat terenyuh, tersentuh dan mbrebes mili…gimana mau kerja coba
SukaSuka
Why oh why Fafa?? 😢😢😢
SukaSuka