(lanjutan dari bagian pertama)
Konya, 1248. Awal Desember. Malam itu, di luar, udara sedang dingin-dinginnya. Di dalam kamar, cengkerama sepasang kekasih sedang hangat-hangatnya. Bagi mereka ini ritual. Kebiasaan yang sudah dilakukan selama empat tahun. Menemukan Sang Empunya Semesta di antara percakapan. Hal yang sulit dimengerti orang-orang sekitar. Tapi siapa yang peduli, bagi mereka ini cinta. Cinta — lebih sakral dari apapun dan kegilaannya tidak selalu harus dimengerti.
Tak berapa lama sang kekasih mendengar pintu belakang diketuk. “Tunggulah sebentar, ada tamu. Aku bukakan pintu dulu.”, katanya.
Ia mengiyakan; tetap tinggal di dalam kamar. Menunggu. Di luar, udara semakin dingin. Tidak terdengar suara-suara. Malam sudah habis dan kekasih tak kunjung datang. Ia patah hati. Ini yang kedua kali. Namun entah kenapa ia yakin kali ini sang kekasih tidak akan kembali. Padahal, baginya, kekasihnya itu adalah Sang Mentari. Sesuai dengan namanya: Syam.
Balkh, 1207. Akhir September. Kota kecil ini masuk di dalam wilayah kekuasaan Persia (Balkh saat ini merupakan wilayah Utara Afghanistan). Bahauddin yang ahli agama itu baru punya anak laki-laki. Jalaluddin namanya. Jalal ad-Din; kemenangan atas iman. Bahaudin memang pengin anak laki-lakinya ini kelak bisa jadi penerus.
Anatolia, 1215. Persia diinvasi kerajaan Mongol, Balkh akhirnya diduduki. Bahauddin dan keluarganya terpaksa hijrah ke tempat baru ini. Anatolia letaknya di bibir laut Mediterranean. Wilayah ini dulunya kekuasaaan Byzantium, Romawi.
Sudah jadi kebiasaan orang-orang Timur Tengah, nama tempat tinggal dijadikan nama belakang. Tanda pengenal, katanya. Begitu juga dengan Jalaluddin. Ia menanggalkan nama Balkhi, dan menggantinya jadi Rumi. Asalnya dari kata Roman/Romawi. Jalaluddin Rumi kalau diterjemahkan bisa jadi begini : Si Jalaluddin anak Rum.
Enam belas tahun berselang dan Bahauddin sang ayah pun meninggal. Jalaluddin berniat meneruskan jejak sang ayah. Tak lama kemudian ia dan istrinya, Gowhar Khatun, pindah ke Syria untuk belajar.

Konya, 1244. Tengah November. Jalaluddin, 37 tahun, lagi mateng-matengnya. Punya madrasah, ahli ilmu syariah. Ndak ada yang ndak kenal.
Siang hari itu, seusai mengajar, ia menuju rumah menunggangi keledainya. Ketika melewati pasar, tiba-tiba ia dicegat seorang lelaki paruh baya. Laki-laki ini mengenakan jubah hitam yang begitu lusuh, janggut dan rambutnya panjang tak terurus, badannya dekil. Orang-orang bilang dia gila. Syamsuddin Tabrizi. Syam si laki-laki gila dari Tabriz (sekarang wilayah Azerbaijan, Iran).
Syam terus saja meracau dan menghalangi jalan Jalaluddin. Mengajukan pertanyaan-pertanyaan aneh yang begitu absurd. Jalaluddin pun tidak tahan untuk tidak meladeni, mereka akhirnya terlibat percakapan yang begitu seru. Syam kemudian memutuskan kalau Jalaluddin lah orang yang selama ini ia cari. Orang yang bisa membantu ia menemukan Tuhannya.
Sejak saat itu Jalaluddin dan si gila Syam tidak bisa dipisahkan. Mereka mengasingkan diri berdua. Berbulan-bulan. Bagi mereka ini ritual. Menemukan Sang Empunya Cinta di antara tatapan dan percakapan sunyi. Berdiskusi tanpa kata-kata.
Dua tahun sudah lewat. Jalaluddin tidak peduli lagi dengan apapun, toh ia sudah menemukan Sang Mentari. Murid-muridnya yang lain habis dibakar cemburu, mereka pun akhirnya mengusir Syam. Keesokannya Syam menghilang tak berjejak. Jalaluddin berduka, mengunci diri. Banyak yang percaya di sinilah titik awal Jalaluddin mendalami mistisisme Islam.
Damaskus, 1247. Di pusat kota. Syam berdebat dengan seorang pendeta dari barat. Francis Assisi namanya (kemudian jadi Santo). Ini Pelik. Soal kalah-menang. Bukan. Bukan soal agama mana yang paling benar. Bukan soal Muhammad atau Yesus. Ini soal judi kartu. Menurut Syam, Francis curang. Maunya cuma uang. Akhirnya Francis pun mengaku, tapi Syam malah merelakan uangnya. “Bawalah untuk kawan-kawan di Barat sana. Bagikan untuk mereka.”, katanya. Francis pun pamit undur diri.
Ada seorang pemuda yang daritadi mengamati mereka dari kejauhan. Sultan Walad. Anak teruta Jalaluddin, ia datang menyampaikan surat cinta untuk kekasih sang ayah. Jalaluddin kangen, katanya. “Kembalilah, Syam, aku rindu.”, mungkin begitu isi suratnya.
Syam akhirnya manut, ikut kembali ke Konya dan kembali ke pelukan Jalaluddin. Mereka tidak bisa dipisahkan.
Konya, 1248. Awal Desember. Pagi itu, di luar, udara sedang dingin dinginnya. Di dalam, hati sedang panas-panasnya. Mata sedang basah-basahnya. Kekasihnya tak kunjung pulang. Padahal Cuma Syam yang bisa membantunya menemukan Sang Empunya Rasa. Walau dalam diam sekalipun.
Berbulan-bulan ia meratap. Puluhan sajak ia tulis untuk Syam. Ia pun akhirnya pergi ke Damaskus, siapa tau Syam di situ lagi. Padahal tidak ada yang berani bilang kalau Syam dibunuh dan jasadnya dibuang, tidak bisa ditemukan.
“Why should I seek? I am the same as he.
His essence speaks through me.
I have been looking for myself.”
Setelah lama dirundung sendu, Jalaluddin pun tercerahkan. Sang Mentari tak perlu dicari. Ada di dalam dirinya sendiri.
Jalaluddin pun akhirnya bisa jatuh cinta lagi. Kali ini kepada seorang tukang emas bernama Saladdin Zarkub. Dan, bukan. Ia bukan yang terakhir. Sepeninggal Saladdin, Jalaluddin kembali jatuh cinta pada seorang pemuda berdama Husam Chelebi.
Sajak-sajak Jalaluddin tentang Syam pun dikumpulkan dan diberi judul “The Great Works of Sham of Tabriz”. Namun buku ini dan sajak-sajaknya yang lain, oleh pemerintah Turki, sempat dilarang beredar dan diterjemahkan karena kontennya yang begitu “nggilani”. Barulah akhirnya pada tahun 2006 kumpulan sajak ini bisa diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris.
Homo kah seorang Jalaluddin Rumi? Apapun hubungan yang ia miliki dengan Syam Tabrizi, rasanya kurang pas jika harus dikotak-kotakkan ke dalam label homoseksual, homoerotis, homophile, homosocial, dan homo-homo lainnya.
Saya, sih, melihat ini sebagai same-sex love. Tidak harus selalu dimengerti. Tapi, cinta dan kasih seharusnya juga tidak perlu ditempeli embel-embel gender. Seperti yang pernah ditulis Gandrasta, Jalaluddin pun punya konsep yang sama tentang cinta dan ketuhanan.
“I profess the religion of love.
Love is my religion and my faith.
My mother is love, my father is love, my prophet is love.
My god is love I am a child of love.
I have only come only to speak of love.”
(bersambung)
(p.s: kalau teman-teman tertarik membaca kumpulan sajak Rumi untuk Syam Tabrizi, silakan tinggalkan email di kolom komentar. Nanti saya kirim versi pdf-nya. 🙂 )
(p.s.s: bisa juga klik di sini divaneshams)
hi mba,
saya mau dong sajak sajaknya. Terima kasih ya
moeldjanee.ibral@gmail.com
salam,
SukaSuka
Senang sekali bacanya, terima kasih sudah menuliskannya, saya juga ingin tahu apa yang ditulis Rumi untuk Syam, boleh yaaa dikirim ke emailku. Terima kasih.
SukaSuka
mbak fa saya mau juga sajaknya.
nuwun sewu, ini email saya intanrhs@gmail.com
matursuwun.
SukaSuka
kak fa, tito minta pdf sajak rumi dong
SukaSuka
Hai. Saya mau juga Sajak Jalaluddin!
Email xyontheodore@gmail.com
Terima kasih!
SukaSuka
halo, mau dong pdf sajak nya 🙂 marzland@gmail.com
terima kasih!
SukaSuka
aku mau dikirimi juga dong ke puspasdewi@gmail.com terimakasih:-)
SukaSuka
Mbak, saya mau ya dikirimi pdf sajaknya Rumi.
emmyoga[at]gmail . com
Thanks in advance 🙂
SukaSuka
Thank you for being so kind. Now awaiting the PDF file to come through!
SukaSuka
mba, aku mau banget di kirimi sajak-sajaknya, ke itisicha[at]gmail[dot]com . Terima kasih kebangetan mba 🙂
SukaSuka
Mau dong mbak Fa dikirimin timmymalachi@gmail.com thanks in advance
SukaSuka
Duluuu banget awal 2000-an pernah baca tentang Rumi dan Syam ini di buku Revolusi Sang Matahari (kalo gak salah judulnya gitu), dalem bgt cinta dua orang ini.. Hmm.. Mau dong Fa dikirimin ke daynif@yahoo.com Makasiih ya :’)
SukaSuka
Mau doonnggg (meitya.putri@gmail.com)
SukaSuka
aku juga mau dong mbak… stevenanggrek@mac.com
SukaSuka
Saya mau dikirimi… Terimakasih sebelumnya.
SukaSuka
mbak fa, walau aku agak gak percaya kalo rumi homo, aku mau sajaknya mba ke pelangiselaluindah(at)gmail.com. good article mba. thank you sebelumnya mba..
SukaSuka
Mau dong, tlg kirim ke fikrimbrk@gmail.com ya, makasih
SukaSuka
Aku mau ya mba Fa.. vietvot(at)gmail(dot)com
thanks
SukaSuka
Aku mau dong kak Fa 😦
SukaSuka
Aku maaauuuuu ya Fa! Terima kasih 🙂
SukaSuka
Mauk.
anakkopilaw(at)yahol(dot)com
SukaSuka
bromance? 😀
SukaSuka
Kepingan cinta yang berserakan menikam di sudut pagi
SukaSuka
saya mau dong mbak.
SukaSuka
Mau!
SukaSuka
Aku mau baca dong sajak-sajaknya. Great post anyway! (ibnuhab(@)gmail(.)com)
SukaSuka
Aku baru tau! Dan aku mau surat cintanya 🙂
SukaSuka
Hi! Pdfnya ada di sini: https://linimasa.com/2014/10/24/homosexualislam-pt-2/divaneshams/
SukaSuka
wah saya mau dong sajak-sajak Ruminya 🙂
SukaSuka
Aku mau!
SukaSuka
jatuh hati . . .
mau dong baca sajak-sajak nya 😊
SukaSuka
Terima kasih. Ok. Aku kirim ke emailmu, ya. 🙂
SukaSuka
keren mba..
aku ambil antrian pertama untuk dapat surat cinta mba Fa:)
SukaSuka